Isu Radikalisme dan Perang Persepsi

Menariknya akhir-akhir ini juga begitu ramai Isu radikalisme di tanah air Beta Indonesia. Bahkan, seperti beberapa waktu lalu disebutkan ratusan Pesantren-Pesantren dan masjid yang terjangkiti radikalisme. Kalau ternyata benar, tentu ini sangat membahayakan. Bayangkan 2-3 orang saja orang radikal bisa menjadikan keamanan sangat terganggu.

Karenanya ada baiknya jika radikalisme itu diberikan defenisi yang jelas. Apa, bagaimana dan kapan sebuah paham/karakter dimaknai radikal. Sebab seringkali pemaknaan itu salah alamat. Dan akhirnya mengakibatkan kezholiman kepada pihak/kelompok tertentu.

Saya teringat di era Presiden GW Bush Jr. Disebabkan oleh peristiwa 9/11 akhirnya Bush melancarkan peperangan yang disebut “War on Terror”. Peperangan kepada teror ini dilakukan secara masif, baik secara global maupun domestik.

Oleh karena defenisi teror saat itu juga tidak diperjelas. Akhirnya peperangan kepada teror itu menjadi remang-remang, tidak jelas juntrungannya. Bahkan belakangan teridentifikasi kalau “war on terror” itu identik dengan “war on Islam” (peperangan kepada Islam). Walaupun Islam yang dimaksud terlabelkan sebagai “Islam radikal”.

Satu hal lagi yang menjadi dilema Bush dengan War on Terror ini. Yaitu terjadinya apa yang disebut dengan “guilt by association” atau bersalah karena asosiasi. Hal ini menjadi masalah besar karena apapun bentuk hubungan itu akan dijadikan justifikasi sebagai “bagian atau dukungan” kepada teror. Akibatnya begitu banyak orang-orang yang tidak tahu dan tidak sadar tentang apa yang terjadi tiba-tiba harus menanggung resiko tuduhan teror.

Sebagai contoh saja. Karena Hamas terlanjur dituduh sebagai organisasi teroris maka semua yang punya relasi dengannya harus siap dituduh teroris. Termasuk ketika seseorang atau sebuah organisasi menyalurkan donasi untuk perjuangan bangsa Palestina. Jika kebetulan donasi itu ada yang masuk dalam pengelolaan orang atau kelompok yang berafiliasi dengan Hamas maka donatur tersebut dianggap bagian dari jaringan teror.

Bahkan lebih radikal lagi ada kasus seorang warga Amerika keturunan Somalia berkunjung ke Magdishu (Ibukota Somalia). Orang tersebut makan di sebuah restoran yang kebetulan dimiliki oleh seseorang yang berafiliasi ke Al-Shabab (organisasi yang ditetapkan sebagai teroris). Warga Amerika tersebut kemudian ditetapkan sebagai donatur ke organisasi teroris.

Saya khawatir kalau Isu radikalisme yang banyak diributkan saat ini juga punya tendensi yang tidak jauh berbeda. Bahwa isu radikalisme memang bertujuan untuk membangun persepsi jika mereka yang punya perhatian dan komitmen kepada agama dianggap radikal. Sampai-sampai janggut dan celana cingkrang, bahkan ketampanan sempat jadi kriteria radikal.