Adanya fenomena baru yaitu isu orang tanpa gejala (OTG) pada kasus pandemi Covid-19, contohnya, kuat diduga bahwa isu dimaksud merupakan hidden agenda titipan dari segelintir elit globalis (non-state actor) agar merebak rasa saling curiga-mencurigai antara sesama, entah kawan, saudara, curiga terhadap lingkungan sekitar dan yang utama ialah tidak percaya lagi dengan sistem kehidupan (offline) yang selama ini dijalani, termasuk lazimnya segala bentuk ritual agama-agama di dunia.
Ya. Sepertinya publik tidak hanya disuguhi fenomena OTG, tetapi hendak digiring pada agenda sekularisasi global dimana ritual agama hanya boleh dilakukan di ranah privat —stay at home, social distancing dan lain-lain— tidak boleh dijalankan di ranah publik sebagaimana lazimnya. Apakah rencana mereka sukses? Kita lanjutkan diskusi kecil ini.
Catatan kali ini, tidak mengkaji peperangan senyap antara non-state actor versus state actor ber-isu pandemi, tidak pula membahas perang asimetris antara korporasi soft power melawan korporasi hard power tetapi hanya sekilas untuk menyambung narasi saja.
Tidak boleh dipungkiri, daya tawar publik di era pandemi hampir tidak berdaya dan tak berkutik jika menyangkut keselamatan rakyat sehingga cenderung menerima dan “pasrah” atas setiap clue keprotokolan dari otoritas global (WHO). Keselamatan rakyat itu hukum tertinggi, kata Cicero. Tidak salah. Ketika ada isu OTG, contohnya, selain ditelan tanpa selidik tanpa kritik serta dianggap logis sebab datang dari otoritas berwenang. Tentang OTG, agaknya publik juga pasrah setelah sebelumnya secara sadar dan patuh atas clue (dan internalisasi) keprotokolan seperti stay at home, work from home, jaga jarak fisik, social distancing dan lain-lain. Mengapa? Ya. Tanpa disadari, clue tersebut mencabut tradisi serta kearifan lokal, menggeser tata cara spiritual agama-agama, juga mengubah secara radikal budaya offline menjadi online.
Retorika nakal pun muncul, jangankan terjangkit Covid-19, sedang hujan saja pasti timbul gejala-gejala sebelumnya, ada mendung mungkin, atau suara petir, gemuruh gludug dan lain-lain; sekali lagi, jangankan terpapar corona, sedang orang sehat saja yang ingin ke toilet, misalnya, juga ada gejala, entah mules, gelisah, kebelet pipis, dan lain-lain. Gejala dalam sebuah peristiwa adalah keniscayaan. Itu alamiah. Inilah diskusi dan kontemplasi soal OTG berbasis geopolitik.
Mengakhiri diskusi ini, ada indikator aktual, bahwa nantinya pasca demonstrasi, atau usai kerusuhan dan penjarahan massal yang dipicu isu G Floyd di beberapa kawasan di Negara Bagian Amerika, termasuk New York dan Washington, apakah kelak kurva terpapar Covid-19 bakal naik, tetap atau justru turun? Ini juga parameter untuk melihat apakah isu OTG cuma hyper-reality alias realitas semu, atau memang benar-benar fakta riil dan ilmiah?
Tidak ada maksud menggurui siapapun pada catatan ini terutama para pihak berkompeten. Hanya sharing kajian berbasis diskusi serta permenungan geopolitik. Kenapa begitu, sesungguhnya kebenaran itu relatif. Ia bersifat nisbi. Ya. Kebenaran bergerak sesuai tuntutan zaman, terus bergerak dan bergerak untuk mendekati kebenaran sejati-Nya.
Terima kasih.
**) Pointers diskusi di Sanyata Coffee pimpinan Romeo10: “WE CREATE THE FUTURE LEADER.” (sumber: GRI)
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)