by M Rizal Fadillah
Semakin santer kawin paksa Prabowo dengan Ganjar. Meski belum jelas siapa Capres di antara keduanya, akan tetapi mengingat sampai kini Jokowi masih berada di belakang Prabowo, maka potensialnya adalah Prabowo Capres dan Ganjar Cawapres. Artinya Megawati harus mengalah. Sebenarnya kekalutan ini karena Prabowo maupun Ganjar sudah lama “kalah” oleh Anies Baswedan.
Gerakan palsu survey luar biasa masif untuk terus konsisten menjadikan Prabowo tertinggi dan Ganjar runer up. Misi oligarki dan Jokowi adalah merendahkan Anies. Sungguh aneh Anies ditempatkan “buncit” tetapi ditakuti kemenangannya. Memang sebenarnya tingkat popularitas dan elektabilitas Anies Baswedan adalah tertinggi.
Lembaga survey bayaran sudah tidak dapat dipercaya lagi. Kelak akan terbukti keberadaan lembaga hoax terjahat dalam sejarah politik Indonesia. Jika saja ada aturan UU maka banyak lembaga survey yang layak dipidana.
Santernya isu kawin paksa Prabowo-Ganjar untuk menghadapi gerakan dahsyat dan dukungan besar Anies Baswedan di kalangan rakyat menjadi bukti bahwa Istana memang panik. Karena di samping beban dosa politik yang besar juga Jokowi sesungguhnya khawatir Prabowo atau Ganjar jika berjalan sendiri-sendiri dipastikan akan kalah.
Disain dua pasangan yang bertarung adalah pilihan Istana yang “ideal”. Permainan “curang”
seperti tahun 2019 bisa diulangi karena pasangan jagoan dapat diproteksi oleh “alat kelengkapan” Istana. Nah Jokowi memang bersemangat untuk mengawinkan Prabowo dengan Ganjar sebagai dua figur “pengaman” pasca lengsernya.
Bahwa Prabowo sebagai Capres adalah mutlak, tinggal kesiapan Ganjar untuk menjadi Cawapres. Hal ini tergantung Megawati sang Ketum PDIP yang telah terlanjur mengorbankan Puan Maharani untuk digantikan Ganjar Pranowo. Masalahnya adalah siapkah Megawati untuk mengalah ? Ini pertanyaan seriusnya.
Meskipun demikian untuk Pemilu Pilpres 2024 kekuatan rakyat akan lebih nyata. Kontrol atas kecurangan dan potensi untuk perlawanan lebih besar. Andai pun terjadi kawin paksa Prabowo dan Ganjar Pranowo maka potensi untuk kalah juga tetap besar.
Empat yang hal mendasari, yaitu :
Pertama, akan terjadi polarisasi pertarungan antara “status quo” Prabowo-Ganjar Pranowo melawan “perubahan” Anies Baswedan-Muhaimin. Rakyat lebih menginginkan perubahan bukan hanya karena bosan tetapi rezim Jokowi memang zalim.
Kedua, isu kuat yang akan mengemuka adalah kompetisi kelompok “tirani oligarki” melawan “demokrasi”. Mengembalikan kepada asas demokrasi menjadi semangat tersendiri dalam menegakkan ideologi dan konstitusi. Basis perjuangan ini sulit dikalahkan. Prabowo-Ganjar Pranowo merepresentasi kelompok “tirani oligarki”.
Ketiga, ketika umat beragama khususnya Islam dinilai sebagai pemilih potensial maka citra “abangan” dan “Islam” menjadi dasar penting pilihan. Meski Anies sering disudutkan pada identitas keagamaan tetapi sulit dinafikan bahwa agama menjadi hal penting untuk kemenangan. Jokowi waktu itupun butuh KH Ma’ruf Amin. Kini AMIN yang berpotensi untuk menjadi pemenang.
Keempat, kawin paksa Prabowo-Ganjar berbeda dengan canangan terdahulu Prabowo-Puan. PDIP tidak terbelah jika pasangan itu Prabowo-Puan. Megawati dipastikan akan setengah hati untuk berada di kubu Prabowo. Dahulu mengorbankan Puan untuk Ganjar lalu kini harus berjuang demi Prabowo, bukan Ganjar. Ironi dan tragis sekali.
Suasana sebenarnya kubu Istana sedang mengalami guncangan luar biasa tentang pilihan langkah itu. Belum lagi menghadapi gerakan pemakzulan sebelum 2024 yang juga cukup keras. Petisi 100 “Makzulkan Jokowi” bergerak terus untuk perubahan lebih cepat.
Apapun itu, gerakan “people power” merupakan gerakan strategis untuk menumbangkan “status quo” baik sebelum 2024 maupun mendukung hancurnya “status quo” pada Pilpres 2024.
Istana kini sedang berhadapan dengan eskalasi kekuatan rakyat.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 28 September 2023