Selasa pekan kemarin, cetak biru pemerintahan Israel yang baru sudah dimulai. Dengan Benjamin Netahyu sebagai Perdana Menteri dan Avigdor Lieberman— pemimpin kaum fasis dan rasis, Israel tengah menuju sebuah negara yang disangga oleh koalisi yang terus-terusan memerangi orang-orang Palestina.
Agenda pertama pemerintahan baru itu adalah menggelontorkan 2.4 milyar shekel (mata uang Israel, sekitar US$1,6 milyar) untuk kembali membenahi tentara usai agresi ke Gaza satu bulan yang lalu.
Ironisnya, Israel menyelenggarakan pemilu dengan kondisi yang kembang-kempis. Kemenangan tipis Kadima atas Likud, dan juga koalisi mereka dengan Lieberman sekali lagi membuat Israel menjadi pemerintah paling antagonis sepanjang masa. Namun yang paling penting, menilik sejarah Israel, sekrisis apapun Israel, mereka tak akan pernah surut dalam memerangi Palestina, sedikitpun. Begitu pula dengan krisis kali ini.
Menurut hukum dasar Israel, presiden Israel harus berkordinasi dengan partai-partai pemilu untuk menentukan perdana menteri, dan siapapun yang direkomendasikan Knesset, maka sang presiden harus manut.
Hanya, hukum Israel tidak akan menominasikan Kadima sebagai partai pemenang pemilu. Sekarang, semuanya tergantung pada Shimon Peres untuk memilih apakah Livni atau Netanyahu yang akan memimpin pemerintahan. Tapi, nampaknya yang paling berpeluang menjadi perdana menteri.
Sekarang, jumlah Knesset, parlemen Israel, mayoritas harus 61 untuk sebuah partai yang akan berkuasa. Dengan koalisi Netanyahu dan Lieberman yang menghasilkan 63 kursi mengalahkan si pemenang Kadima yang hanya bisa mengumpulkan 58 kursi, membuat Kadima seperti pesakitan dari pemenang pemilu.
Livni menegaskan dia tidak akan bergabung dengan pemerintahan Netanyahu. Sedangkan Netanyahu sendiri mendapat dukungan banyak pihak. Dengan berbagai rekomendasi tampaknya Peres akan lebih suka memilih Netanyahu.
Dalam perspektif orang Arab dan Palestina, pemilu Israel adalah kemenangan kaum ultra-ektremis. Kadima adalah pecahan dari Likud. Yisrael Beitenu juga rekan dari Likud. Dan Netanyahu sudah banyak menumpahkan darah orang Palestina.
Dan Netanyahu sudah jauh-jauh hari menyatakan bahwa penjajahan terhadap Palestina akan semakin diperlukan. Apalagi, Netahanyu sudah pula secara tersirat bahwa Presiden AS, Barack Obama yang akan "memediasi" segala aktivitas Israel berikutnya. Dengan komposisi pemilu Israel sekarang, tidak akan pernah ada kata damai. Netanyahu sekarang merasa sudah semakin dekat dengan konsep dua negara Israel. Netahayu sendiri menolak mentah-mentah akan ada negosiasi damai. Dia akan menyelesaikan tembok pemisah antara Israel dan Palestina.
Apa sebenarnya yang menyebabkan Israel berada dalam situasi krisis sekarang ini? Mulai dari penyerangan mereka pada Libanon selatan pada tahun 2000, dan kemudian penyerangan besar-besaran pada negara yang sama enam tahun kemudian. Yang terbaru adalah agresi ke Gaza. Dalam tiga peperangan terakhir yang dilakukan oleh Israel, semuanya melewati target yang telah mereka canangkan sendiri.
Israel selalu mundur dalam semua peperangan, salah satunya karena adanya penolakan dari tentara Israel yang terus dilanda ketakutan akan mati sepanjang perang. Sekarang para tentara Israel lebih menyadari kalau peperangan yang mereka lakukan hanya dijadikan sebatas alat propaganda dalam pemilu Israel. Mereka menyebutnya sebagai "Pemilu Perang Israel". Sekali lagi, tak akan pernah ada perdamaian di Palestina dengan naiknya Livni, Netanyahu dan Lieberman.
Dilihat dari segi pengeluaran atau budjet yang dihabiskan dalam semua peperangannya, Israel mengalami kerugian besar, namun pemerintah Israel menutup-nutupi berita ini agar tidak menurunkan semangat prajurit mereka.
Poin lain yang menambah derita Israel adalah daerah-daeran yang dikuasai Israel dengan tujuan agar wilayah tersebut terpecah menjadi beberapa bagian, ternyata tidak terpengaruh sama sekali.
Selama perang Gaza berlangsung misalnya, para pimpinan militer Israel melakukan hubungan telepon dengan tentara penjarah Israel agar tidak menceritakan sedikitpun kepada keluarga korban tentang berbagai kerugian yang dialami mereka dalam pertempuran, agar, lagi-lagi, tidak terjadi penurunan semangat para prajurit yang ada.
Netanyahu, beberapa hari yang lalu menyatakan bahwa Israel akan membuka perjanjian dengan Iran, namun sama sekali akan menutup pintu untuk Hamas. Netanyahu sudah mempertanyakan mengapa Operasi Cast Lead berhenti di tengah jalan. "Kami akan memukul Hamas dan mengeluarkannya dari Gaza! Tak akan ad ampun buat Hamas, dan pemerintahan yang baru akan menyelesaikan pekerjaan ini."
Dan Livni, yang mengaku bertanggung jawab akan tewasnya 1400 warga Palestina dalam Operation Cast Lead kemarin, juga berjanji akan melakukan penyerangan kepada Hamas lebih hebat lagi. "Sampai mereka jera!" begitu ujar Livni. Bahkan Livni juga menegaskan bahwa tak akan ada tempat untuk orang Palestina di masa depan.
Sekarang, ketiga orang elit Israel itu sudah bersepakat akan melancarkan perang total terhadap Gaza. "Tak ada gencatan senjata. Tak ada negosiasi. Kami akan memerangi Hamas seperti dulu AS memerangi Jepang di Perang Dunia II." AS memang jelas berada di belakang Israel.
Bayangkan, Israel yang mempunyai wilayah sangat kecil, dan itupun merupakan rampasan dari Palestina, bagaimana bisa memiliki senjata mutakhir dengan jumlah ratusan Arsenal Nuklir?
Jawabannya hanya mungkin jika Israel disokong penuh oleh AS. Tujuannya, tidak lain adalah menjadikan Israel sebagai pangkalan militer AS sendiri untuk membungkam segala bahaya yang mungkin mengancam AS dari Eropa dan Asia Barat. (sa/aljz)