Islamofobia Versus Pengalihan Isu

Diksi radikalisme dan sejenisnya menjauhkan fokus perhatian kita dari masalah-masalah utama itu. Diksi ini sekaligus membuyarkan perhatian pada sejumlah masalah aktual. Sebelum wacana pemetaan masjid dan pesantren muncul, perhatian publik tertuju pada sejumlah hal besar. Sebut saja pengesahan UU Ibukota Baru atau pelaporan Kaesang-Gibran ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Maka, diksi-diksi yang menyudutkan Islam boleh jadi bersifat politis. Mungkin dilatarbelakangi oleh hasil Pilgub DKI yang memperlihatkan soliditas umat Islam sebagai sebuah kekuatan politik, mungkin sebagai pengalihan isu, atau mungkin pula hal lainnya.

Nyanyian sumbang tentang intoleransi, radikalisme, ekstremisme, terorisme dan seterusnya terasa begitu ramai di Indonesia beberapa tahun terakhir. Padahal, dunia sudah muak dan menunjukkan kesadaran atas kekeliruan mereka memersepsikan Islam. Tren menjauh dari perangkap Islamofobia setidaknya dapat kita lihat pada kebijakan pemerintahan Kanada dan Amerika Serikat.

Pemerintah Kanada mengumumkan bakal menunjuk perwakilan khusus untuk memerangi islamophobia sebagai bagian dari strategi anti-rasisme negaranya. Sementara itu, DPR atau House of Representative AS menyetujui rancangan undang-undang yang memerangi gerakan antimuslim atau islamofobia di negeri mereka. Dua negara minoritas muslim tersebut memberi penghormatan yang begitu elegan terhadap keberagaman.

Fenomena itu adalah sinyal perubahan cara pandang dunia terhadap Islam. Aneh jika negara berpenduduk mayoritas Muslim ini ketinggalan, apalagi menjejaki masa lalu mereka yang kini mulai ditinggalkan itu. [FNN]