Islamofobia Versus Pengalihan Isu

Seraya menunggu tindak lanjut rencana Polri dan BPET MUI memetakan masjid, kita sekaligus mengapresiasi permintaan maaf BNPT. Mereka mengakui ada kesalahan diksi. Sebagai muslim yang baik, kita tentu memaafkan. Namun, sebagai muslim yang kritis, barangkali saatnya kita bertanya. Apakah penggunaan diksi yang menyudutkan Islam punya arah tertentu?

Faktanya, tidak sedikit wacana-wacana kontroversial dilontarkan elit politik ke ruang publik lalu menguap begitu saja. Masih ingat wacana sertifikasi ulama? Atau kotak amal yang diduga sumber pendanaan terorisme? Seolah menguap bersama angin, kita tak tahu ujung dari perkara-perkara tersebut. Yang ada, wacana-wacana itu menjadi sumber kegaduhan tak penting.

Disebut tidak penting karena persoalan utama bangsa saat ini tidak terletak di sana. Persoalan utama kita adalah ekonomi bangsa yang rapuh, peningkatan jumlah hutang yang ekstrim, kegagalan pembangunan, angka kemiskinan yang meningkat tajam bahkan bukan saja miskin biasa tapi miskin ekstrem.

Jauh di bawah standardisasi miskin yang ditetapkan Bank Dunia. Juga kebijakan yang miskin aspirasi rakyat semisal UU Omnibus Law atau Cipta Kerja. Inilah yang membuat bangsa kita semakin rapuh. Namun, rakyat seringkali bertengkar seputar masalah Nusantara versus Arab, cingkrang versus sarung, atau jilbab versus kebaya.