Eramuslim.com – Krisis itu menemui puncaknya pada 14 Juli 1789. Perancis berkobar menuju revolusi. Penjara Bastille dijebol. Gubernur de Launay terbunuh. Simbol absolutisme kerajaan runtuh. Jargon-jargon kebebasan, persamaan derajat, dan persaudaraan dikobarkan. Senjata diangkat melawan serdadu Louis dan Antoinette. Sang raja dan ratu sendiri akhirnya harus merelakan kepalanya dipancung guillotine.
Ketidakpuasan sosial atas asas-asas feodal di Perancis masa itu jadi salah satu sebab. Pajak mencekik diterapkan pada kaum papa. Sementara di Versailles, raja dan ratu hidup mewah dengan sokongan belasan ribu pelayan. Dan pihak gereja pun secara mengejutkan—bagi saya, paling tidak—juga memiliki hak untuk menarik pajak dari rakyatnya.
Di tengah semua kisruh yang begitu riuh ini, kita bertanya, siapa orang-orang di baliknya?
Revolusi ini memang dilahirkan oleh pemikir sekelas Voltaire, Rousseau, atau Montesquieu. Juga mewarnai setting novel legendaris Les Miserables karya Victor Hugo. Tapi bukankah bisa kita saksikan bahwa penjebol Bastille yang jadi penanda besar revolusi ini adalah kaum buruh nan tertindas aturan-aturan aristokrasi? Bukankah arus utama dari perubahan ini adalah mereka yang relatif tak berpendidikan tinggi?
Mungkin ada benarnya kata Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir bertanggal 11 Agustus 2002 itu. Bahwa sebuah negara tak pernah didirikan di atas kecerdasan. Ia mengutip Soekarno yang mengomentari Sovyet versi Lenin, saat pidatonya di hari bersejarah itu, 1 Juni 1945. “Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas?” Dan memang gagasan sosialisme ilmiah Lenin berpijak di atas tumpuan seratus tujuh puluh juta petani miskin yang sebagian besarnya masih buta huruf.
Tapi ada paradoks. Atau ironi. Karena di saat yang sama, Soekarno, sebagai salah satu tokoh kemerdekaan, pastilah menyadari bahwa tak semua pribumi mengecap bangku STOVIA, HIS, atau Nederlandsch Indische Artsen School, yang sekarang berganti nama jadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Maka, pendidikan mayoritas rakyat Indonesia saat itu praktis hanya bergantung pada al Irsyad al Islamiyyah-nya Ahmad Syurkati, Taman Siswa-nya Ki Hadjar Dewantara, atau Muhammadiyah-nya Ahmad Dahlan.
Cukupkah ia? Wajar bila dibilang tak cukup, mengingat sebagian besar lembaga pendidikan tersebut masih berkutat di wilayah Jawa saat masa-masa sebelum kemerdekaan. Tapi toh, kemerdekaan akhirnya berhasil direbut. Dengan segala liku menjelang proklamasinya.
Di sela mengisahkan Sovyet dan Indonesia, tuan GM beralih ke Amerika. Di sini ia mengutip Malcolm Bradbury. “Sejarah Amerika seluruhnya adalah cerita tentang orang yang membenci ayah mereka dan mencoba membakar tiap hal yang dilakukan ayah itu.” Dan kutipan ini jelas-jelas bersanding dengan pengakuannya atas teori filsafat cemerlang ala Thomas Jefferson.
Tapi, masalahnya, kita terbentur sebuah fakta unik, yang barangkali hanya terjadi beberapa kali dalam sejarah. Fakta ini muncul dari sebuah pertanyaan: ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan negara Islam di Madinah, adakah Muhajirin dan Anshar masih tercelup sifat jahili?
Buat Sayyid Quthb, jelas tidak. Baginya, seperti yang ia tuliskan dalam Ma’alim fi ath Thariq, Islam adalah “proklamasi kemerdekaan manusia dari penyembahan pada sesama manusia menuju penyembahan pada Allah semata”. Dan proses ini memiliki jalan yang panjang. Perlu iman yang teguh. Butuh yakin yang kokoh. Itu semua tak akan pernah mampu diwujudkan dalam waktu yang singkat, atau dengan pengetahuan yang secuil. Alasannya sederhana: karena taruhannya besar.
Maka al Quran, bagi Sayyid Quthb—mungkin juga bagi mereka yang meyakini ayat kedua dari surat al Baqarah—merupakan petunjuk. Yang jadi rambu-rambu di sepanjang jalan. Yang jadi pembeda antara haq dan batil. Yang jadi undang-undang tertinggi yang harus dipatuhi. Dan al Quran-lah yang akhirnya mampu membentuk apa yang ia sebut sebagai “generasi Qurani yang unik”.
Sejarah mencatat bahwa jalan pembuka menuju Madinah dirintis oleh Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu. Caranya? Da’wah. Pemuka Aus dan Khazraj, seperti disebut Syaikh Shafiyyurrahman al Mubarakfury dalam ar Rahiqul Makhtum, ditemui guna menyampaikan risalah pada ummat akhir zaman ini. Fakta sederhana ini menunjukkan bahwa negara konstitusional berdasarkan wahyu ini didirikan melalui proses tarbiyah—pendidikan. Bukan berdasar ketakutan, kepanikan, atau tekanan yang eksesif.
Memang, beberapa tahun di Makkah bukan saat-saat yang mudah bagi sang rasul. Tapi, toh, tekanan-tekanan itu tak mengubah apa pun yang disampaikannya. Seruannya tetap sama, seperti para nabi terdahulu. Tauhid.
Sementara, ketika negara dibentuk dan dicintai tanpa argumen yang jelas, tanpa pertimbangan yang logis, ia berpotensi menumpahkan teror dan darah. Tak berujung.
Kekhawatiran ini yang dibawa oleh A. Hassan, Natsir, dan Agus Salim, seperti dikutip Arta Wijaya dalam Gerakan Theosofi di Indonesia. Ketiganya menilai kecintaan manusia pada bangsa dan tanah air harus dilandasi pada ketaatan pada Allah ta’ala. Cinta terhadap tanah air harusnya dilakukan semata dengan maksud menjalankan hukum Allah pada negara di mana kaum muslimin tinggal. Fokus besarnya: ada potensi ashobiyah atau chauvinisme yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Karena alasan-alasan itu, sepertinya bisa dimaklumi mengapa Ki Bagus Hadikusumo, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, sampai mencak-mencak menuntut pengembalian muqaddimah Undang-undang Dasar 1945 yang ditarik oleh pelaku sejarah menjadi sesuatu yang tak absolut. Jadi tak jelas.
Patriotisme atau nasionalisme model ashobiyah ini membawa kita pada kenangan sembilan tahun lalu. Tepat setelah stasiun televisi itu menyiarkan drama robohnya dua tonggak ekonomi Amerika, sorak gembira warga Iran menghias ruang keluarga di rumah segenap penduduk negeri Paman Sam. Tak jelas mengapa. Mereka tak lagi sempat bertanya. Maka di tengah ketakutan berlebih itu, telunjuk segera diarahkan menuju jazirah Arab dan Persi.