Ironis Polisi Terlibat Aborsi Mahasiswi

Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya.

Kasus Rany dan Novia, bukan kasus baru di negeri Pancasila ini. Pada kebanyakan kasus seringkali orang melakukan hubungan badan saat berpacaran itu atas dasar sexual consent, kemudian ketika ada akibat kehamilan, pihak laki-laki menyuruh aborsi/berlepas diri dan menggantungkan hubungan tanpa ada komitmen apapun, ini yang kebanyakan membuat wanita depresi. Hal ini menunjukkan bahwa MORAL bangsa ini tengah TERPURUK, khususnya rasa tanggung jawab atas perbuatan tidak ada. Istilahnya telah mewabah LAKI-LAKI PENJAHAT SEKSUAL yang tidak bertanggung jawab dan pihak WANITANYA tidak bisa menjaga diri bahkan tidak punya harga diri. Kasus ini sulit dipidana jika suka-sama suka (sexual consent) meskipun ada pihak yang dirugikan. Ini persis kasus antara Martua Raja Sidabutar vs Katharina Siahaan tahun 1978 di Pengadilan Negeri Medan yang kemudian ditangani oleh Hakim Bismar Siregar (di tingkat Pengadilan Tinggi). Di PN Martua Sidabutar dihukum percobaan 3 bulan karena terbukti melakukan pencabulan, di PT oleh Bismar dihukum selama 3 tahun karena terbukti melakukan PENIPUAN (Pasal 378 KUHP) tapi dibatalkan oleh hakim MA Adi Andojo dengan alasan Hakim Bismar terlalu luas menafsirkan Pasal 378 KUHP dengan metode konstruksi hukum berupa ANALOGI.

Kita prihatin atas maraknya pelanggaran seksual di tengah masyarakat kita yang religius ini. Agar tidak terulang kasus tragis Novia ini, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan ke publik, yaitu:

(1) Benteng terawal dan terakhir adalah agama yang lurus. No law without moral, no moral without relegion. Ps 29 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Wanita jangan mudah terbujuk rayu lelaki dan begitu pula sebaliknya. Jangan pernah menjadi PRIBADI MURAHAN. Menjaga marwah, kehormatan wanita harus dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga.

(3) Pintu-pintu kekerasan seksual dan kemesraan seksual harus mulai dikurangi dan dibatasi jika perlu dilarang. Sarana media harus ketat dan peraturan hukum mesti tegas dengan sanksi yang menjerakan.

RUU KUHP dan UUPKS segera dituntaskan dengan menampung aspirasi rakyat, wajar jika di negara demokrasi mayoritas mengendalikan, RULER CLASS bukan tertindas.

Pada akhirnya, saya mendorong agar proses hukum yang berlangsung tidak hanya meminta pertanggungjawaban dari tersangka pelaku Bripda Randy, tetapi juga petugas kepolisian jika ada petugas yang tidak menindaklanjuti laporan korban. Jadi, semua pihak yang turut serta membantu pelaku harus dimintai pertanggungjawaban, termasuk petugas kepolisian yang tidak menindaklanjuti laporan korban dan pendampingnya.

Tabik…!!!

Padang, Rabu: 8 Desember 2021 [FNN]

Penulis: Prof. Dr Suteki SH MHum, UNDIP