Industri manufaktur otomotif di Indonesia dikuasai 90 persen oleh Jepang. Begitu juga ketika China membangun industri manufaktur di Indonesia, bahan baku didatangkan dari sana. Lengkaplah sudah Indonesia menjadi negeri yang tergantung impor. Kondisi ini berbahaya bagi kedaulatan negara. Jika dibiarkan, pasar akan dikuasai asing dan pengusaha lokal akan menjadi tamu di negeri sendiri.
Tinggalkan Kebijakan Neolib
Pemerintah tahu betul permasalahan impor ini. Namun langkah yang dilakukan tak kunjung menjadi solusi. Jokowi meminta para pejabatnya untuk melakukan inventarisasi mengenai kebutuhan barang setiap tahunnya. Untuk barang-barang kebutuhan yang memang harus diimpor, Jokowi meminta untuk dilihat lagi substansinya. Hal itu apakah dalam barang tersebut ada bagian yang dapat diproduksi di dalam negeri.
Namun langkah tersebut diragukan efektivitasnya. Neraca perdagangan Indonesia diprediksi akan kembali defisit seiring program percepatan pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia. Surplus neraca perdagangan yang telah diraih selama lima bulan berturut-turut tidak akan bertahan lama lantaran impor akan membanjiri Indonesia begitu investasi terealisasi. Maka menjadi jelas, pembangunan infrastruktur tidak untuk kesejahteraan rakyat kecil.
Selama Indonesia masih menggunakan tata kelola kapitalisme neoliberal, selama itu pula kita akan selalu terdominasi secara ekonomi. Undang-Undang neoliberal yang dibuat rezim akan menjadikan keran impor jebol. Produk asing membanjiri Indonesia. Rakyat hanya bisa gigit jari melihat sumber mata pencahariannya gulung tikar.
Di sisi lain, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tidak mendapat dukungan untuk menjadi kuat dan besar. Sehingga tetap kecil melawan serbuan barang impor yang diproduksi korporasi besar. Asing pun menguasai pasar dan mengatur harga. Usaha kecil kian terseok-seok dalam persaingan bebas. Persis pertandingan tinju tanpa kelas. Tentu juaranya adalah korporasi besar milik asing.
Sebagai negara, kita akan didikte asing. Hilanglah sudah kedaulatan. Persis seperti kondisi di masa lalu, ketika VOC menguasai pasar Indonesia dan mengatur harga seenak perutnya. Yang terjadi saat ini adalah penjajahan ekonomi berkedok pasar bebas. Negara besar menjajah negara lain. Mengisap kekayaannya dan sekaligus mendominasi pasarnya.
Lantas kita masih punya apa? Sudah saatnya sistem ekonomi neoliberal ini ditinggalkan dan menerapkan sistem ekonomi yang berdaulat dan mewujudkan kesejahteraan. Yaitu sistem ekonomi yang bersumber dari kebenaran dan mengembalikan kekayaan rakyat pada pemiliknya.
Namun, maukah para pejabat menerapkan sistem ini? Padahal mereka telah menangguk untung besar di sistem sekarang berupa kemaslahatan pribadi. Meski nasib rakyat harus tergadai. Ah, rupanya sangat banyak yang harus kita benahi. Tak hanya sistem, tapi juga orang. Tak cukup orang, tapi juga sistem. (kl/rmol)
Ragil Rahayu, SE
Komunitas Revo-Ekonomi