Satu hal lagi, menjadi imam sholat itu tidak main-main. Seorang “ahlul bait” (tuan rumah) lebih berhak jadi imam atas tamunya.
Seorang yang lebih baik/lebih tinggi ilmu agamanya, lebih berhak jadi imam dibanding orang yang ilmu agamanya masih sedikit.
Seorang yang fasih bacaan Qur’annya, tepat tajwid dan makhroj-nya, lebih berhak jadi imam dibanding yang bacaannya masih kurang fasih.
Dan hal ini tidak berlaku hanya di saat sholat jamaah fardhu yang mengharuskan imam mengeraskan suara saja. Sehingga kemudian ada yang memanfaatkan jadi imam “spesialis” sholat Dhuhur dan Ashar saja, yang tidak dilafadzkan keras bacaannya.
Sebagai Muslim, saya hanya prihatin saja, jika kemudian sholat, memakai hijab, pergi umroh, dll dijadikan alat penarik simpati publik. Karena, pihak yang tak bersimpati tentu akan bereaksi menunjukkan foto lain yang bertentangan dengan itu.
Maka, akhirnya yang jadi kontroversi adalah ibadahnya. Lalu apa yang didapat pelaku?! Ridho Allah belum tentu bisa digapai, tapi riya’ sudah pasti. Apalagi kalau kemudian semua itu dilakukan bukan karena ketaatan kepada Allah semata, bukan karena “sami’na wa ‘atho’na”. Misalnya memakai hijab hanya di musim kampanye, selepas musim kampanye dilepas pula hijabnya.
Kepada siapakah gerangan niat “patuh” itu ditujukan? Ingatlah, sangat besar murka Allah jika niatan ibadah kita bukan ditujukan kepadaNYA. Firman Allah : “Wa maa kholaqtul jinna wal insa illaa liya’buduun”, artinya “Dan tidaklah AKU ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-KU” (Adz-Dzriyat, 51 : 56).
Wahai para politisi, tolong luruskan kembali niat ibadahmu, agar Allah tak murka. Hentikan menjadikan ibadah, apalagi sholat, sebagai alat kampanye. Allahu ‘a’lam.
Allah tahu segala yang tampak diluar maupun yang disembunyikan dalam hati sekalipun.(kl/kf)