Dulu kita pernah punya tokoh nasional, Ketua Umum partai politik, Ketua MPR, namanya Amien Rais. Beliau Sering memimpin sholat, bahkan sholat Ied (idul Fitri maupun Idul Adha) pun beliau sudah biasa jadi imamnya. Tapi toh tak pernah bikin heboh dan tak pernah “dibikin” heboh. Kalau pun ada media massa yang memberitakan, itupun tak lebih sekedar liputan berita sekilas saja, tak beda dengan liputan sholat Ied di berbagai daerah lainnya. Jadi apa istimewanya jika ada tokoh politik memimpin sholat?
Begitu pula dengan ibadah lainnya. Mau umroh kek, mau berhaji kek, mau hijrah dari kebiasaan tidak menutup aurat menjadi menutup aurat (bagi perempuan), semua itu hendaknya dilakukan semata karena Allah saja, liLlahi ta’ala.
Janganlah semua itu dilakukan hanya ketika menjelang moment tertentu, semisal mendekati ajang pemilihan umum. Kalau sudah begitu, niatnya jadi “li-suara ummat Islam”, bukan liLlahi ta’ala.
Sejak kapan pameran sholat dan memakai busana Muslim jadi salah satu sarana kampanye?
Saya tak bisa menyebut pastinya kapan, tapi setahu saya Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, dll tidak pernah melakukan itu.
Bahkan sebelum tahun 2014, rasanya juga belum ada fenomena mempertontonkan ibadah, bahkan memviralkannya agar publik tahu. Apalagi sampai ada yang sengaja mengenakan jilbab dan busana muslimah hanya sepanjang masa kampanye, tapi segera dilepas kembali ketika kampanye usai.
Sungguh ini fenomena menyedihkan di negeri dengan mayoritas penduduk Muslim.
Bahkan, taktik mempertontonkan “kesalehan ritual” itu kemudian diduplikasi oleh politisi lainnya.
Sebuah partai politik baru yang mengklaim diisi orang-orang muda yang idealis, berpemikiran progresif, anti membawa issu agama dalam kampanye, eeeh…, ternyata baru memasuki tahun 2018 saja, salah satu calegnya mendadak pakai kerudung dan busana Muslimah ketika berfoto untuk dijadikan spanduk. Saya pikir partai itu akan berbeda dalam strategi kampanyenya. Saya pikir mereka akan benar-benar steril dari politisasi agama. Ah…, ternyata sama saja.