Inklusif, Mencegah Negara Seperti Kapal Menuju Karam

Itu artinya, cara pandang atau perspektif yang sejauh ini mewakili aspirasi politik dan kepentingan ekonomi masyarakat, khususnya yang mengemuka di Papua dan Maluku harus ditanggapi dengan sikap inklusif oleh negara. Perspektif ini meminjam Daron Acemoglu dan James Robinson yang diungkap dalam buku ‘Mengapa Negara Gagal’.

Menurut mereka, kegagalan sebuah bangsa menjadi maju dan berkembang karena absennya sistem ekonomi-politik yang inklusif. Tanpa inklusivisme, mustahil sebuah bangsa bisa beradaptasi, berinovasi menuju masyarakat yang egaliter.

Dengan demikian negara dan pemerintah harus lebih cermat membaca situasi dan keinginan ekonomi-politik yang mengemuka. Tidak saja sebagai akibat perubahan global. Namun juga terkait dengan akumulasi kegagalan negara selama ini. Responsif dengan cara inklusif akan dapat mencegah reaksi publik yang kecewa terhadap pengelolaan negara yang tidak menghadirkan keadilan untuk semua.

Inklusif dengan lebih memahami kepentingan dan kebutuhan daerah, terutama di kawasan timur yang tertinggal memang sulit terjadi atau dirumuskan dalam keadaan nagara. Penyebabnya karena tengah dipasung oleh oligarki. Bagi sebagian elit oligakri, mengumpulkan kekayaan adalah agenda utama dan jauh lebih penting ketimbang memikirkan integrasi nasional.

Acemoglu dan Robinson menegaskan dalam buku mereka itu, sistem yang dikuasai tata kelola negara oleh segilintir elit, hanya akan membawa bangsa tersebut semakin terpuruk. Bang itu bahkan tidak kompetitif, dan menjadi bangsa yang gagal. Situasi yang saya lihat mulai menghinggapi bangsa ini.

Masih menurut kedua ilmuan itu. Dengan gagalnya transformasi sistem ekonomi-politik yang inklusif, maka negara tersebut akan bergelimang dengan kemiskinan, ketimpangan sosial dan kekacauan politik. Seperti halnya situasi yang dialami oleh Korea Utara, Uganda dan Sierra Leon.

Untuk menjadi inklusif, antara lain tata-kelola negara yang sangat Jawa sentris harus dapat dievaluasi. Termasuk di dalamnya bandul ekonomi-politik yang hanya pro pada segelintir orang. Itu artinya institusi ekonomi juga mesti dapat segera direkontruksi.

Itu pasalnya, karena institusi ekonomi yang tidak inklusif, hanya akan menjadikan kelompok yang lemah semakin teralinasi atau terpinggirkan. Yang kaya semakin kaya. Itu artinya yang miskin semakin melarat atau setidaknya sulit untuk berkembang.