Eramuslim.com -Komnas HAM masih melakukan kajian terkait penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
“Komnas HAM telah mengikuti secara seksama dinamika penerbitan Perppu sebagaimana dimaksud,” jelas Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, (Minggu, 16/7).
Sepintas, dia menjelaskan, penerbitan Perppu tersebut didasarkan pada suatu niat yang baik dimana Pemerintah akan memberikan perlindungan HAM bagi warga negara. Hal tersebut dapat dilihat dari uraian beberapa pasal yang termaktub dalam Perppu tersebut.
Seolah pemerintah akan melindungi warga negara dari tindakan diskriminasi atas dasar SARA, menjamin hak atas rasa aman, menindak Ormas-ormas yang menampilkan kekerasan dan mengambil alih otoritas negara, melindungi kedaulatan bangsa, menjaga Pancasila, dan seterusnya.
“Namun mencermati pasal-pasal yang terdapat di dalamnya kami menemukan setidaknya 5 (lima) cacat Perppu Nomor 2 tahun 2017,” ucapnya.
Pertama, cacat lahir. Secara prosedural penerbitan Perppu tersebut tidak memenuhi 3 (tiga) syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 38/PUU-VII/2009. Yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembutan UU.
“Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap Ormas,” ungkapnya.
Kedua, cacat substansi. Kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam Konstitusi dan UU HAM yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah. Perppu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate. Pembatasan HAM hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas HAM serta kebebasan dasar orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral-kesusilaan, nilai-nilai agama, keamanan, kertetiban umum, dan kepentingan bangsa dalam suatu masyakat yang demokratis (pasal 28J (2) UUDNRI 1945 dan pasal 73 UU Nomor 39 tahun 1999).
“Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun tidak boleh mengurangi, merusak, atau menghapuskan HAM atau kebebasan dasar yang diatur dalam konstitusi dan UU HAM (pasal 74 UU Nomor 39 tahun 1999),” tegasnya.
Ketiga, cacat metodologi. Perppu tersebut menghapus mekanisme due process of law dalam pembubaran Ormas. Memang inilah yang menjadi pokok dalam Perppu ini. Perppu tersebut memposisikan Ormas sebagai musuh, menurut persepsi pemerintah. Dan, setiap saat dapat dibasmi. Perppu ini menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan Ormas.
Keempat, cacat pikir. Perppu memunculkan ketentuan pidana sebagaimana dalam pasal 82A Perppu tersebut. Seseorang dapat dipidana karena secara langsung atau tidak langsung menjadi pengurus/anggota Ormas yang terlarang dengan pidana. Bahkan, Perppu itu menambah berat pemidanaan dari maksimal 5 (lima) tahun menjadi seumur hidup atau minimal 5 (lima) tahun dan paling lama 20 tahun.
Kelima, cacat paham. Perppu ini merupakan perubahan UU Ormas. Perubahan yang pada pokoknya, meminjam tesis Prof. Syaiful Bakhri, Guru Besar Pidana yang juga Rektor UMJ, hendak menerapkan asas contrarius actus dalam pembubaran Ormas menunjukkan kesesatan pemerintah terhadap konstitusi dan UU HAM dan UU Ormas. Penerbitan Perppu ini sebagai jalan pintas, syahwat kekuasaan dalam mengintervensi kebabasan bersyarikat warga negara.
“Terlepas berbagai cacat ketentuan yang diatur yang diharapkan sebagai jalan pintas, Perppu tersebut merupakan solusi yang terlalu mewah. Seharusnya pemerintah lebih fokus dalam mengakselerasi pengesahan KUHP dan KUHAP yang baru dan modern. Sebuah negara yang menisbikan penegakan hukum yang adil dan beradab jelas akan menggantarkan sebuah rezim ke pintu gerbang otoritarianisme. Ini malapetaka, apabila tidak segera direnungkan,” papar Maneger.
Bahwa upaya negara menjaga kedaulatan Bangsa dan Falsafah Negara ini, dia menambahkan, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan prinsip negara hukum sebagaimana mandat Konstitusi. Cara-cara represif dalam sejarahnya telah menunjukkan tidak pernah berhasil mengubah keyakinan seseorang malah sebaliknya dapat membuat seseorang semakin keras meyakini sesuatu.
“Dunia kemanusiaan juga meyakini pelanggaran suatu hak akan menimbulkan pelanggaran hak lainnya karena HAM memiliki keterkaitan antara hak yang satu dengan hak yang lain,” imbuhnya.
Atas Dasar itu, Maneger mengingatkan, sejatinyalah Mahkamah Konstitusi supaya ekstra hati-hati, ekstra jujur, dan ekstra ketat di dalam memeriksa perkara ini. Dan, DPR RI juga ekstra hati-hati, ekstra jujur, dan ekstra ketat atas diundangkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
“Solusi sementara, jika ada ormas yang dipandang radikal oleh pemerintah tidak langsung memberangusnya, tapi dengan dialog dan melalui proses hukum. Begitu juga dengan Kementerian Agama bisa mengadakan dialog terbuka untuk menentukan apakah ormas tersebut bertentangan dengan Pancasila atau tidak. Setelah baru diajukan ke proses hukum,” demikian Maneger Nasution. (kl/rmol)
https://m.eramuslim.com/resensi-buku/konspirasi-penggelapan-sejarah-indonesia-eramuslim-digest-edisi-10.htm