Oleh: Pierre Suteki
Masih segar ingatan kita soal “pencopotan” atau “recall” hakim MK Aswanto atas usulan DPR. Saya mendapat kesan bahwa “pencopotan” hakim MK Aswanto merupakan bentuk intervensi legislatif terhadap lembaga yudikatif secara terang-terangan dan sekaligus menunjukkan betapa DPR itu sangat arogan karena mencopot hakim MK yang konon “mewakili” DPR seperti “mencopot” anggota DPR dari suatu partai dengan cara “recall”. Ini yang disebut DEMOKRASI? Ini yang disebut NEGARA HUKUM? Saya yakin, bukan cermin negara hukum dan demokrasi tetapi negara kekuasaan, dan cenderung terjadi “abuse of power”.
Mestinya disadari oleh DPR dan juga Partai Politik bahwa jika seseorang telah terpilih dan menjadi anggota dalam suatu badan negara, ia tidak lagi menjadi wakil mutlak yang harus selalu satu kata, satu warna dalam menyikapi sebuah kebijakan negara. Artinya yang terpenting anggota tersebut menjalankan tugasnya dengan baik sekalipun tidak sesuai dengan harapan pengusul awalnya. Jika model recall ini dilanjutkan, prinsip negara hukum dan demokrasi pasti akan berantakan dan setiap anggota (MK, DPR) yang dipilih atau diusulkan rentan untuk dicopot lantaran sikap anggota dianggap tidak sesuai dengan pengusul (DPR, Partai).
Atas kasus “pencopotan” hakim Aswanto yang diduga lantaran berani menganulir produk DPR, khususnya yang terakhir berupa UU Cipta Kerja, kita pun bisa menduga bahwa kasus ini hanya PUNCAK GUNUNG ES. Artinya sangat mungkin putusan-putusan MK di masa lalu sangat mendapatkan intervensi dari DPR maupun Presiden. Perkara sengketa pemilu 2019, UU Cipta Kerja, UU Pemilu (soal Presidensial Treshhold) yang sudah puluhan kali diuji namun MK tetap berpendapat hal itu merupakan OPEN LEGAL POLICY dari DPR dan PRESIDEN, patut diduga kuat terjadi INTRIKS politik hingga konspirasi gelap yang sebenarnya mencerminkan keadaan adanya INDUSTRI HUKUM yang dibangun sendiri oleh DPR, PRESIDEN dan MK yang berpotensi menjadi MAFIA HUKUM.
Konsistensi MK akan segera diuji terkait dengan putusan atas gugatan antara lain diajukan oleh salah satu kader PSI–yang sekarang diketui oleh Kaesang Pangarep salah satu putra Presiden Joko Widodo– tentang batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam petitumnya, pemohon JR menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun.” Selain itu, memohon agar MK menyatakan frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.”
Jika MK konsisten terhadap kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas suatu UU terhadap UUD NRi 1945, maka MK tidak akan mengubah batas umur Calon Presiden dan Wakil presiden menjadi kurang dari 40 tahun hingga 35 tahun karena kebijakan batasan dalam UU Pemilu itu merupakan kebijakan hukum terbuka Presiden dan DPR (open legal policy). Artinya, perubahannya hanya dapat dilakukan oleh DPR dan Presiden. MK dikatakan memutus perkara secara negative legislature (membatalkan aturan dalam UU), bukan positive legislature (menetapkan aturan baru dalam suatu UU).
Jika pada hari Senin, tanggal 16 Oktober 2023 MK jadi membacakan putusan yang mengabulkan permohonan penurunan batas usia Calon Presiden dan Wakil Presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun maka MK sudah melampau kewenangannya dengan positive legislature. Ada rumor yang memprediksikan putusan MK bahwa batas usia Calon Presiden dan Wakil Presiden tetap 40 tahun, namun MK akan menyatakan bahwa pasal yang menyebutkan batas usia itu tidak konstitusional sepanjang tidak dibaca dengan menambah frase “atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara”, misalnya pernah menjabat sebagai kepala daerah. Artinya, meskipun seorang calon Presiden dan Wakil Presiden belum berusia 40 tahun namun sudah pernah menjabat sebagai kepala daerah (Bupati, Walikota atau Gubernur), maka tidak ada halangan baginya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
Apakah prediksi penambahan frase “atau pernah menjabat sebagai kepala daerah” ke dalam Pasal 169 huruf q akan dilakukan oleh hakim-hakim MK? Saya yakin akan terjadi perbedaan pendapat para hakim MK (dissenting opinion). Keadaan paling buruk adalah MK mengabulkan permohonan persyaratan capres dan cawapres dengan penambahan frase sebagaimana tersebut di atas dengan perbandingan suara 9 hakim MK dengan angka lima banding 4 (5:4). Putusan MK ini jika betul diambil, maka kecurigaan atas upaya meloloskan bakal calon Wapres yang banyak dibicarakan di berbagai media adalah tepat dan terbukti. Hal ini mengingat MK terkesan memaksakan diri untuk menerbitkan putusan yang disinyalir banyak intriks politik di dalamnya dalam upaya melanggengkan kekuasaan rezim atau status quo. Di sini patut diduga telah terjadi praktik MAFIA HUKUM, yakni dalam bentuk konspirasi antara Legislatif (DPR), Eksekutif (Presiden) dan MK yang komposisi hakimnya terdiri dari 3 atas usulan DPR, 3 atas usulan Presiden dan 3 usulan MA.
Dulu saya pikir Mahkamah Konstitusi (MK) ini lembaga yudikatif yang berisi DEWA-DEWA hukum dan mampu bertindak objektif sesuai dengan kapasitas keilmuan ketatanegaraan. Jika benar bahwa MK akan memutus kasus ini baik dengan penurunan batas usia capres maupun cawapres dan atau menambah frase “atau pernah menjabat sebagai kepala daerah, maka patut diduga bahwa MK pun menjadi alat permainan politik DPR dan PRESIDEN. Jika kedua lembaga ini bersatu, siapa yang bisa mengalahkan? Apalagi telah terbukti melalui penelitian dosen-dosen Trisakti (2020) bahwa ada sekitar 22,01 % putusan MK tidak dipatuhi bisa oleh Presiden dan DPR atau pihak lain terkait. Ketika kedua lembaga ini bersatu, anggota hakim MK bisa berbuat apa karena sebagian mereka pun dianggap UTUSAN dari DPR dan PRESIDEN yang ternyata harus TUNDUK, PATUH dan MENYERAH kepada TUANNYA jika tidak ingin dicopot dan atau tetap diperpanjang masa jabatannya. Mafia Hukum yang melibatkan Presiden, DPR dan MK pun boleh jadi telah dipraktikkan di negeri ini. Mereka patut diduga berkomplot untuk melanggengkan kekuasaan rezim (status quo) melalui kebijakan hukum dan politiknya.
Saya menangkap kesan bahwa kondisi hukum dan politik negeri ini sudah rusak, dan oleh karenanya saya kira memang sudah saatnya dilakukan RESTORASI KEPEMIMPINAN NASIONAL agar kembali kepada THE TRUTH and JUSTICE. Kerusakan sudah begitu akut, maka harus dilakukan perubahan yang RADIKAL, EXTRAORDINARY, bukan perubahan yang biasa, baik INKREMENTAL maupun CUT and GLUE. Apakah perlu REVOLUSI? Apakah perlu PEOPLE POWER? Dengan jalan apa kita memperbaiki kerusakan akut negeri ini? Anda punya solusi?
Katanya kita punya Pancasila, bukan? Sanggupkah Pancasila menjadi solusi? Sanggupkah Pancasila menunjukkan KESAKTIAN-nya yang setiap tanggal 1 Oktober kita peringati? Anda yang mengaku “SAYA PANCASILA” saya tantang sekarang! Jika tidak mampu, maka benar statement yang saya sematkan pada judul buku saya bahwa PANCASILA 404: NOT FOUND. Dan akhirnya saya pun mengajukan pertanyaan: “Apakah Anda masih percaya bahwa MK akan menjalankan tupoksinya sebagai “The Guardian of Ideology and Constitution”?”
Tabik…!!!
Semarang, Sabtu: 14 Oktober 2023