Lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis keuangan yang melanda dunia. Sementara bank-bank konvensional di seluruh dunia bangkrut atau merugi hingga lebih dari 400 milyar dollar akibat krisis di sektor kreditnya, industri perbankan syariah menunjukkan menunjukkan kebalikannya.
Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap memberikan keuntungan, kenyamanan dan keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana yang mempercayakan uangnya didepositkan di bank-bank syariah.
Di tengah krisis keuangan global, industri keuangan syariah malah mengalami pertumbuhan sebesar 1 triliun dollar dan dipekirakan akan terus berkembang meliputi investor-investor non-Muslim.
Para investor yang trauma akibat krisis keuangan bisa lebih nyaman jika menanamkan investasinya di lembaga-lembaga keuangan syariah, yang menerapkan peraturan ketat berdasarkan hukum Islam dalam memberikan pinjaman. Sistem keuangan berbasis syariah mensyaratkan untuk mengambil keuntungan hanya dari investasi-investasi yang dilakukan secara etis dan bertanggunggung dari sisi sosial. Sistem ekonomi syariah, melarang mengambil keuntungan dari sistem riba, seperti sistem bunga yang diterapkan bank-bank konvensional dan melarang mengambil keuntungan dari investasi-investasi haram seperti perjudian, pornografi dan bisnis babi.
”Krisis ini merupakan titik balik bagi sistem pinjaman konservatif yang sudah usang. Kondisi pasar global sekarang ini memberikan kesempatan yang besar bagi lembaga keuangan Islami untuk menunjukkan apa yang bisa dilakukannya-untuk mengisi gap likuiditas yang terjadi,” kata David Testa, Eksekutif Gatehouse Bank yang memulai operasinya sebagai bank Islam kelima di Inggris, bulan April kemarin.
Asian Development Bank (ADB) mempekirakan, asset-asset lembaga keuangan islami secara global mencapai 1 triliun dollar dengan angka pertumbuhan per tahun sebesar 10 sampai 15 persen. Perkiraan ini bisa lebih tinggi, karena perkembangan pesat industri keuangan Islami telah menarik minat perusahaan-perusahaan dari luar Timur Tengah.
Para analis keuangan sudah banyak yang mengakui bahwa industri keuangan Islami menerapkan sistem yang berbeda yang membuat resikonya relatif kecil. Meski ada juga sejumlah analis yang meragukan keamanan sistem keuangan berbasis syariah. Mereka mengatakan, para komentator terlalu bersemangat dalam mempromosikan keunggulan-keunggulan sistem keuangan Islami sebagai produk yang aman.
”Sistem keuangan Islami tidak kebal terhadap resiko,” kata Mohamad Damak dari Standard & Poor’s. Ia mengkritik maraknya pembiayaan real estate di kawasan Teluk selama tiga tahun belakangan ini-terutama pembiayaan yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan syariah-di tengah membubungnya harga-harga properti.
”Koreksi di sektor real estate akan menimbulkan dampak bagi bank-bank Islami yang terlibat dalam bisnis ini. Sistem keuangan Islami tidak kebal terhadap krisis,” kritik Damak.
Sementara sejumlah analis masih memperdebatkan soal keamanan sistem keuangan Islami, banyak pula yang mengakui bahwa industri keuangan Islami kini mulai dilirik banyak orang yang sudah kehilangan kepercayaan dengan sistem keuangan kapitalis.
”Jika bank-bank Islami menunjukkan langkah maju, maka sistem keuangan Islami akan menjadi daya tarik,” kata Testa.
Sukuk Menjadi Pilihan
Krisis keuangan di Barat menyebabkan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia kehilangan kepercayaan dengan sistem pinjaman konvensional. Mereka kini mulai mengalihkan perhatian ke lembaga-lembaga keuangan Islami di kawasan Teluk untuk mengamankan dana-dana mereka. Dan yang menjadi daya tarik perusahaan-perusahaan Barat itu adalah sukuk, surat obligasi negara syariah.
”Banyak klien kami mulai melihat ke Timur Tengah dan ke institusi-institusi di Timur Tengah. Mereka menjajagi apakah lembaga-lembaga itu bisa membantu bisnis mereka dan apakah ada peluang-peluang yang lebih luas bagi institusi-institusi Barat untuk masuk ke Timur Tengah dan mengadopsi standar-standar keuangan Islami,” kata Neil Miller, ketua departemen keuangan Islami di Norton Rose.
Menurut Miller, perusahaan-perusahaan dari berbagai belahan dunia mau melakukan apa saja agar bisa mendapatkan akses ke negara-negara petrodollar, termasuk mekonfigurasi ulang transaksi-transaksi untuk menghindari agar asset dan struktur mereka tidak dianggap bertentangan dengan konsep syariah.
”Mereka yang mengatur hal itu sedang mellihat apakah mereka bisa merekstrukturisasi kesepakatan-kesepakatan mereka ke dalam kesepakatan-kesepakatan yang berbasis syariah. Mereka juga sedang melihat apakah bisa membuat sebuah peluang investasi atau apapun itu, yang paralel dengan konsep syariah,” papar Miller.
Perkembangan baru ini terjadi seiring dengan makin maraknya pasar sukuk. Situs Arabianbusiness menyebutkan, meski tahun 2008 mengalami perlambatan, sampai tahun ini, surat obligasi negara syariah mengalami perkembangan yang cukup pesar di pasar surat berharga di seluruh dunia. Nilai sukuk meningkat dua kali lipat setiap tahunnya sejak tahun 2004. Pada akhir tahun 2007, nilai sukuk bahkan mencapai 90 milyar dollar di seluruh dunia dan posisinya sebagai pilar penting dari sistem keuangan Islami tidak perlu dipertanyakan lagi.
Minat yang besar perusahaan-perusahaan Barat pada sukuk sebagai alternatif pembiayaan , apalagi setelah krisis keuangan yang terjadi saat ini, diakui oleh Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan.
Dalam Konferensi Economic Outlook for Southeast Asian Countries di Dubai pekan kemarin, Pitsuwan mengatakan, “Saya piker perusahaan-perusahaan asing menyadari bahwa ada banyak alternatif dan mereka akan mengeksplorasi lebih dalam. Mereka akan melihat inisiatif baru, ke bank-bank Islami untuk mendapatkan modal dan sumber-sumber untuk melayani klien-klien mereka. Kecenderungan ini mulai meningkat.” (ln/IHT/Islamicity/Ab)