Setelah disahkan revisi UU KPK oleh DPR, KPK menjadi macan ompong. Komisioner KPK diusulkan oleh Presiden dan dipilih oleh DPR kalah hebat dengan Dewan Pengawas KPK yang diangkat oleh Presiden. Dewan Pengawas yang seharusnya secara organisasi sejajar dengan komisioner KPK menjelma menjadi semacam atasan komisioner KPK. Betapa tidak, menurut UU KPK hasil revisi, urusan penyadapan, penggeledahan hingga penerbitan sprindik menjadi otoritas Dewan Pengawas.
Padahal, mestinya Dewan Pengawas itu mengawasi komisioner KPK apakah kerja dan kinerjanya sejalan dengan UU KPK dan aturan internal KPK lainnya. Memastikan komisioner KPK bekerja independen melaksanakan UU KPK. Bukan menjadi atasan komisioner KPK.
Kita pun tak mengetahuinya tentang kebakaran hutan dan lahan (kahutla). Apakah benar-benar terbakar atau dibakar sebagai pengalihan isu. Kita tak dapat mempercayai setiap informasi, apa yang sebenarnya terjadi.
Rentetan gonjang-ganjing politik ini belum akan berakhir hingga Oktober 2019. Bahkan saya memprediksi akan semakin memanas bila 2020 terjadi resesi ekonomi. Pak Harto hanya mampu bertahan 2 bulan 10 hari setelah dilantik 11 Maret 1998 oleh MPR. 21 Mei 1998 Pak Harto jatuh. Jika MPR memaksakan melantik Jokowi pada 20 Oktober 2019, mungkinkah memunculkan gelombang rakyat menuntut keadilan seperti yang dialami Pak Harto? Wallahu Ta’ala A’lam. (*end/swa)
Bandung, 19 Muharram 1441/19 September 2019
*Penulis: Tarmidzi Yusuf (Aktivis Islam)