Usai rapat koordinasi pembahasan HPP beras di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (4/1), Djarot mengatakan, stok beras Bulog di awal 2018 mencapai hampir satu juta ton. Dia memperkirakan, stok beras Bulog tersebut cukup untuk menutup kebutuhan rastra atau bantuan sosial untuk empat bulan lebih. Artinya, tidak ada alasan Pemerintah ngotot mengimpor beras menjelang panen raya.
Carut-marut penanganan perberasan nasional membuat Kepala Bulog keenam periode 2000-2001 Rizal Ramli merasa geram. Dia minta impor beras dibatalkan. Kalau pun tidak mungkin dibatalkan, maka beras impor tadi seluruhnya harus masuk gudang-gudang Bulog. Setelah itu, karena musim panen telah tiba, Bulog harus aktif membeli padi/petani petani.
Rasanya terlalu lelah mengeritik para penguasa. Semua kritik dan saran tadi bak angin lalu di telinga dan hati mereka. Para pejabat publik terlalu asyik dengan fantasi dan imajinasi masing-masing. Mereka tidak peduli terhadap dampak dari semua itu. Jangankan dampak buruk bagi rakyat, efek negatif yang mungkin terjadi kepada Presiden selaku bos pun, mereka tidak peduli. Soal rakyat jadi tidak suka kepada Presidennya, itu bukan urusan para menteri. Soal elektabilitas Presiden bakal tergerus pada 2019, jangan-jangan memang itu tujuannya.
Presiden Cuek?
Sayangnya, Presiden Jokowi pun sepertinya cuek saja dengan fenomena ini. Padahal mustahil Jokowi tidak tahu, bahwa masalah terberat Indonesia dalam tiga tahun pemerintahannya adalah ekonomi. Di tangan para menteri neolib, pertumbuhan ekonomi kita tidak beringsut jauh dari 5%. Jumlah pengangguran juga cenderung naik. BPS melaporkan, Agustus 2017 yang dirilis November 2017, jumlah pengangguran naik 100.000 orang menjadi 7,04 juta.
Sekadar informasi, kriteria bekerja versi BPS sama sekali berbeda dengan kriteria awam. Menurut BPS, bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan paling sedikit satu jam secara tidak terputus selama seminggu yang lalu. Jadi, menurut BPS, kalau anda bekerja sejam seminggu yang lalu, maka anda bukanlah pengangguran. Seru, kan?
Di tengah melambungnya angka pengangguran, tren deindustrialisasi, dan terjunnya daya beli, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang neolib itu justru sibuk menggenjot pajak, mengulik Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari rakyat kelas bawah, dan memangkas anggaran sosial di APBN yang berdampak naiknya harga-harga. Dia juga terus saja membuat utang baru. Jumlahnya benar-benar nyaris menyentuh Rp4.000 triliun.
Celakanya lagi, utang-utang baru yang sebagian berupa obligasi (bond) yang dibuat Sri selalu berbunga sangat tinggi. Pengamat ekonomi politik dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra menghitung, kerugian yang diderita Indonesia akibat utang-utang berbunga supertinggi mencapai Rp121 triliun dan US$6,7 miliar. Kerugian itu terjadi hanya dalam periode 2006-2010 ketika Sri menjadi Menkeu era SBY. Artinya, jumlah tersebut belum termasuk utang baru yang dibuat dalam dua tahun lebih dia menjadi Menkeu Jokowi.
Pada saat yang sama, dia justru menggelontorkan mega subsidi bagi lima industri sawit Rp7,5 triliun. Entah apa yang ada di benak Sri hingga hal ini bisa terjadi. Padahal, pada saat yang sama petaka gizi buruk di Papua telah merenggut puluhan nyawa anak-anak tak berdosa. Seandainya sebagian dari Rp7,5 triliun itu untuk anggaran pelayanan kesehatan penduduk Papua…
Tapi, sekali lagi, sayangnya, Jokowi bak abai dengan fakta-fakta miris ini. Reshuffle kabinet jilid tiga lima hari lalu, hanya membongkar-pasang Menteri Sosial dan Kepala Staf Presiden. Sementara para menteri ekonomi yang jadi biang masalah, justru sama sekali tidak disentuh. Ibarat sakit kanker stadium empat, kok malah mengolesi balsem jempol kaki.[jj/ts]
Penulis: Edy Mulyadi (Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies-CEDeS)