Imperialisme Digital

Konsolidasi yang di dalamnya sarat semangat anti penjajahan, kolonialisme dan imperliasme. Semangat anti Belanda yang selama kurang lebih 350 tahun telah menjajah dan memangsa mentah-mentah SDA Indonesia melalui kekerasan, perbudakan dan bahkan penghinaan dalam bentuk kerja paksa di negeri sendiri.

Di tengah ketidakpastian tampang regulasi saat ini, ancaman imperialisme digital sudah di depan mata. Salah satu contohnya persekutuan raksasa start-up Gojek dengan raksasa lainnya Tokopedia. Telusurilah “riwayat hidup” keduanya di mesin pencari “Google”. Akan ditemui fakta kedua raksasa kapitalisme yang berjubah imperialisme digital tersebut, memposisikan rakyat Indonesia yang berjumlah ratusan juta hanya sebagai “mesin” pencetak uang triliunan tiap bulan secara digital untuk kantong mereka di luar negeri.

Memang benar menjanjikan kemudahan di semua bidang. Namun pada saat yang sama menyembunyikan “bencana yang tertunda” (delayed disarter) jangka Panjang. Dalam arti pergeseran budaya pekerja keras aktif menjadi mentalitas konsumerisme pasif, komentar seorang pakar komunikasi.

Artikel dekan Fakultas Hukum UI, Dr. Edmond Makarim, (Kamis, 14 January 2021) yang mengutip Data Digital Economy Report 2019 dari United Nations Conference (UNCTAD) tahun 2019, menarik untuk dicermati. Secara gamblang menunjukkan bahwa perusahaan teknologi digital terkonsentrasi secara geografis di AS dan Tiongkok.

Meskipun terdapat perusahaan-perusahaan digital yang berasal dan beroperasi di pasaran negara berkembang, mereka tampaknya hanya menjadi porsi marjinal dalam ekonomi digital. Meskipun saat ini tengah semarak hadirnya aplikasi nasional, sebagaimana dijelaskan di atas. Saat ini penguasaan infrastruktur digital tidak berada di tangan bangsa.

Dengan pemanfaatan cloud computing, justru data diunggah dan ditampung ke dalam suatu sistem akuarium informasi global yang dapat dilihat oleh yang menguasainya. Kepercayaan pengguna terhadap produk teknologi seharusnya tidak lepas dari sejauh mana pengetahuan mereka akan resiko kerentanan kegagalan teknologi tersebut. Juga bagaimana hal itu telah dikelola atau dimitigasi dengan baik.

Tidak ada kesempurnaan dalam teknologi, sehingga seharusnya ada kepastian prosedural untuk mitigasi. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari kewenangan administratif terkait. Tidak hanya dilepaskan kepada kompetisi pasar saja. UU-PDP itulah sesungguhnya bentuk nyata mitigasi verbal yang harus menjadi domain negara.

Baru saja di pertengahan Desember lalu, pengguna di dunia dikejutkan dengan gangguan layanan Google selama satu jam. Bahkan raksasa teknologi itu ternyata tidak bisa mencegah 100% terjadinya kerusakan atau gangguan teknologi. Juga tidak menjamin keandalan sistem elektroniknya. Imperialisme sejatinya tidak benar-benar hilang dari kehidupan manusia.