by M Rizal Fadillah
Bukan salah persepsi bahwa pindah Ibu Kota ke Penajam itu adalah kemauan Presiden. Itu fakta historis dan politisnya. Bahwa 93 % anggota Fraksi di DPR menyetujui adalah fakta hukum. Tidak adekuat dengan representasi kemauan rakyat. Semua orang se-dunia hampir mengetahui bahwa DPR RI di masa Jokowi adalah tukang stempel dan pemandu hore eksekutif. Ramai di Komisi bungkam di Paripurna. Selesai kongkalikong “happy together”.
UU No 3 tahun 2022 tentang IKN dibuat dengan super cepat cukup 41 hari saja. Ada kesan kejar tayang agar IKN segera memiliki sandaran hukum meski perpindahan itu sendiri digantungkan pada terbitnya Keppres. Kebut-kebutan ini pula yang menyebabkan status Ibu Kota Jakarta cepat dicabut dengan mengubah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
UU No 2 tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta buru-buru diketok agar Jokowi leluasa menandatangani Keppres tanpa perdebatan hukum. Ia ingin soal IKN sepenuhnya kewenangan otoritatif dirinya baik kapan pindah, siapa investor, maupun pejabat yang diangkat sebagai Kepala Otorita IKN. Pindah Ibukota Negara adalah proyek Jokowi dengan bantuan penasehat termasuk para dukun. Trilyunan rupiah dana APBN digelontorkan untuk memenuhi ambisi Jokowi tersebut.
Kini menjelang akhir jabatan, target untuk pindah gagal dipenuhi. Jokowi tidak berani menandatangani Keppres karena memang nyatanya belum siap untuk pindah. Jokowi menyerah dan mencari celah untuk melepas tanggung jawab. Satu-satunya pihak yang bisa menjadi kambing hitam adalah DPR. Narasinya adalah bahwa pindah Ibu Kota itu kemauan seluruh rakyat. Untuk ini respon preet terlalu lunak, broot lebih pas.
Begitulah karakter Presiden yang selalu cari kambing hitam, tidak mau disalahkan dan gemar berbohong. Bukan hanya DPR tukang stempel yang orang se-dunia tahu, tetapi juga soal pindah IKN itu kemauan dan ambisi dari Jokowi. Untuk alasan legacy, mistis atau alasan yang tidak logis lainnya. Segala kritik baik terkait naskah akademik, pembebasan lahan hingga sumber pembiayaan, diabaikan. Apapun keberatannya, proyek IKN haruslah jadi.
Sekarang muncul dagelan baru bahwa menurut Jokowi proyek IKN adalah keputusan seluruh rakyat. Rakyat mana ? Mungkin rakyat China. Seperti Rempang dan PIK 2 yang demi “rakyat” diberi status Proyek Strategis Nasional (PSN), maka IKN juga menjadi “jualan” Jokowi ke China. Dokumen komitmen Chengdu bersama Xi Jinping masih tersimpan rapi. Bukti bahwa Jokowi dan kroni adalah pengkhianat bangsa.
Mengalihkan kegagalan pada “keputusan seluruh rakyat” menunjukkan bahwa Jokowi sudah frustrasi. Tak ada harapan lagi soal IKN, sebaliknya yang bakal dihadapi esok adalah tuntutan rakyat atas ambisi, ego dan ketidakpedulian dirinya. Netizen memberi opsi pada Jokowi dan anak istri : 1. Menyerahkan diri. 2. Masuk bui. 3. Bunuh diri. 4. Lari ke luar negeri, atau 5. Semedi sampai mati. Hi hi bagus juga itu opsi.
Sebagaimana kasus pelanggaran HAM berat pembunuhan aktivis dan dugaan korupsi dana Covid 19, maka kasus pembiayaan IKN harus diperiksa atas kemungkinan kerugian negaranya. Ditambah delik penghianatan negara tentunya. Jika obyektif dan desakan rakyat cukup kuat maka diprediksi Jokowi dan dinasti bakal diadili dengan vonis berat yaitu hukuman mati.
Jika ingin diam-diam tanpa diketahui umum maka eksekusinya dilakukan dalam bentuk tembak hingga mati sebagaimana diatur oleh Penpres No 2 Tahun 1964. Jika rakyat ingin mengetahui atau menyaksikan eksekusi hukuman mati Jokowi, maka pelaksanaanya mesti dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam Pasal 11 KUHP.
Nah, kini opsi netizen menjadi bertambah di samping menyerahkan diri, masuk bui, bunuh diri, lari ke luar negeri, semedi sampai mati juga dengan tembak hingga mati atau gantung di dekat Tugu Tani.
Selamat jalan pak Jokowi, pengabdianmu tidak akan dilupakan…. oleh keluargamu sendiri.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 27 September 2024