Seorang tokoh gerakan Islam (dari Ikhwanul Muslimin) pernah mengatakan, bahwa membangun amal jama’i itu sangat berat, prosesnya lama, dan melelahkan. Namun ketika ia telah membuahkan hasil, buahnya sangatlah menakjubkan. Saya sangat setuju dengan pandangan itu. Kalau tidak salah, pernyataan ini terlontar sebagai “hiburan hati” bagi kader-kader Partai Keadilan (PK) setelah mendapatkan hasil mengecewakan dalam Pemilu Juni 1999.
Sebagai contoh, gerakan politik PKS pada tahun 2004 berhasil memenangkan pemilu di tingkat DKI Jakarta. Hal itu hanya dalam masa gerakan politik sekitar 5 tahun (1999-2004). Andaikan kawan-kawan PKS itu konsisten dan istiqamah, mereka bisa merawat dominasinya di DKI Jakarta. Jika Jakarta bisa dikelola dengan baik, selangkah lagi meraih Indonesia. Ini adalah buah amal jama’i. Sayang sekali, dalam Pemilu 2009, dominasi atas DKI Jakarta tidak bisa dipertahankan.
Contoh lain, selama 30 tahunan Orde Baru telah melakukan “amal jama’i” di tingkat birokrasi, melalui organisasi Korpri. Hasilnya, mereka berhasil mencetak kader-kader birokrat (pejabat atau pegawai negara) bermental Orde Baru di segala lini. Ketika Reformasi 1998 muncul, ia tak berhasil membersihkan birokrasi dari mental Orde Baru. Malah dalam Pemilu 1999, Golkar menjadi pemenang kedua setelah PDIP. Golkar sendiri sampai saat ini masih bercokol kuat. Pola “amal jama’i” juga dikembangkan oleh organisasi-organisasi mantel Zionisme, seperti Freemasonry, Illuminati, dan lain-lain.
Semua ini membenarkan sebuah kesimpulan, bahwa kemajuan selangkah secara berjamaah lebih baik daripada kemajuan 1000 langkah secara sendiri-sendiri. Dalam riwayat disebutkan: “Yadullahi ‘alal jama’ah” (Tangan Allah ada di atas jamaah).
Kekuatan Ikhwanul Muslimin di Mesir diperkirakan tak akan mampu dibendung, meskipun militer mengerahkan segala macam cara untuk meredamnya. Harus diingat, para pemimpin dan kader Ikhwanul Muslimin telah belajar banyak dari musibah-musibah yang menimpa mereka selama ini; mereka sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Dalam beberapa waktu ke depan kita akan menyaksikan panorama-panorama menakjubkan, ketika gerakan Islam di Mesir berhasil meraih kemenangan; Al Fathu Min Futuhatil Islamiyyah (satu kemenangan di antara kemenangan-kemenangan Islam).
Justru yang sedih adalah diri kita sendiri, di Indonesia. Amal jama’i apa yang telah kita siapkan untuk menyongsong datangnya era kemenangan? Adakah kita selama ini memiliki konsistensi dan komitmen untuk membuahkan kemenangan Islam? Atau kita cukup menunggu saja, biarlah yang terjadi kan terjadi, sambil kita bersiap-siap (selalu) menjadi komentator dan kritikus ulung? Duhai malangnya kalau mereka telah beramal, sementara kita sebatas berdebat kusir.
Karakter Kompromi
Satu hal yang patut dipuji dari langkah gerakan Islam Al Ikhwan di Mesir, yaitu kemauan mereka untuk berkompromi, melakukan perbaikan, dan mengantisipasi perubahan zaman. Ini luar biasa. Biasanya komunitas-komunitas dakwah Islam cenderung kaku dengan manhajnya dan bersifat taqlid kepada arahan ulama-ulamanya. Tetapi Al Ikhwan tetap bersikap obyektif dengan memberi ruang-ruang toleransi bagi perubahan.
Bukti paling nyata ialah sikap kompromi kalangan Al Ikhwan kepada komunitas Salafi. Seperti kita ketahui, di antara kelompok-kelompok Islam yang ada, Salafi paling kritis dan tekun dalam mengkritik gerakan Al Ikhwan. Di mata Salafi pengikut Syaikh Rabi’ Al Madkhali, Syaikh Muqbil Al Wadi’i, atau Syaikh Ali Hasan Al Halabi, seolah kelompok Al Ikhwan sudah tidak punya kebaikan sama sekali. Tetapi mereka tetap memandang Salafi sebagai saudara, tidak menganggapnya musuh atau serupa orang kafir. Ada bantahan-bantahan yang disampaikan ulama-ulama Al Ikhwan, tetapi tidak terlalu menyolok. Bahkan kalangan Al Ikhwan jarang menuduh kaum Salafi sebagai Murji’ah.
Selain itu, Al Ikhwan juga mencoba membangun hubungan baik dengan kalangan Jihadis, khususnya Jamaah Islamiyah Mesir. Ketika tokoh-tokoh Islam nyaris tidak pernah bersikap tentang nasib Syaikh Umar Abdurrahman, pemimpin Jamaah Islamiyah, yang dipenjara di Amerika; maka Dr. Yusuf Al Qaradhawi dengan lantang menyerukan agar Syaikh Umar Abdurrahman dibebaskan dari penjara Amerika, karena kondisi beliau sangat lemah akibat sakit yang menimpanya. Saat merayakan kemenangannya dalam pemilu 30 Juni 2012 di lapangan Tahrir Square, Dr. Muhammad Mursi menegaskan, salah satu missi diplomatik kabinetnya ialah akan mengusahakan pembebasan bagi Syaikh Umar Abdurrahman. Harus diakui, meskipun banyak kalangan mencela Usamah bin Ladin terutama terkait dengan peristiwa 11 September 2001, kalangan Al Ikhwan (setahu saya) tidak pernah secara eksplesit menyebut Usamah bin Ladin atau Al Qa’idah sebagai teroris. Sebersalah apapun ia di mata orang lain, Al Ikhwan (setahu saya) tetap menghargainya.
Seringkali Al Ikhwan dituduh terkait sikap lunaknya kepada Syiah dan Iran. Seolah mereka menganggap sepele persoalan Syiah. Tetapi hal ini bukan tanpa alasan. Kita tahu posisi Al Ikhwan di Timur Tengah seringkali terjepit oleh kekejaman rezim-rezim penguasa militer. Di Eropa dan negeri-negeri Muslim non Arab, mereka juga kerap dicurigai. Saat itu mereka butuh pembela, atau sekedar penolong, ketika sulit menemukan penguasa Sunni yang ramah kepada mereka. Maka munculnya Iran yang membuka diri, menyatakan “Ahlan wa Sahlan” (meskipun hanya berpura-pura), mereka sambut gembira; dengan tanpa melupakan catatan-catatan kekejaman kaum Syiah. Seolah mereka mengambil teladan dari kebijakan politik Sultan Shalahuddin Al Ayyubi rahimahullah yang semula kerjasama dengan Syiah, namun kemudian berhasil membersihkan Syiah dari Mesir.
Bagaimanapun juga Al Ikhwan tetaplah sebuah organisasi dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Hal itu dibuktikan dengan pidato Presiden Mursi saat KTT negara-negara Non Blok di Teheran, yang mengawali pidatonya dengan memuji Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan AliRadhiyallahu ‘Anhum. Juga terkait dukungan Al Ikhwan terhadap perjuangan menggusur rezim menindas Basyar Assad di Suriah; juga terkait komitmen Hamas di Palestina terhadap akidah Ahlus Sunnah dan kepentingan kaum Muslimin Sunni. Termasuk pernyataan-pernyataan terbaru Syaikh Al Qaradhawi yang mengkritik keras gerakan Syiahisasi yang dimotori Iran. Harus diakui, banyak ulama-ulama Al Ikhwan yang menjadi pakar seputar akidah Syiah Rafidhah.
Sikap kompromi kalangan Al Ikhwan terhadap Salafi, Jamaah Islamiyah, juga pembelaan mereka terhadap akidah dan kepentingan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, merupakan kebaikan-kebaikan yang harus kita apresiasi. Selagi mereka masih dikenali sebagai “jamaah manusia” pastilah tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan; tetapi adanya niat baik untuk bersaudara, bekerjasama, dan menghargai sesame Muslim (meskipun berbeda manhaj dakwah), itu harus dihargai setulusnya.
Bersambung…
Tatar Pasundan, 1 Agustus 2013.
AM. Waskito. Penulis buku “Air Mata Presiden Mursi”.