Kedua, adanya pelemahan ajaran agama dan Pancasila dalam sistem resmi kurikulum belajar pendidikan saat ini. Ketiga, adanya pertemuan-pertemuan politik anak-anak eks komunis. Selain itu, adanya distribusi kaos-kaos lambang Komunis Palu Arit meluas di Indonesia. Dan yang terakhir, adanya razia buku-buku komunis yang dilakukan jajaran militer.
Tafsir Sejarah
Sejarah tentunya bukan sebuah jalan lurus. Bukan pula rangkaian informasi berbasis tahun dan tanggal. Bukan pula sebuah gelombang se arah. Namun, sejarah adalah sebuah rangkaian peristiwa di masa lalu yang memiliki hukum sebab akibat dan mempunyai gelombang dengan arus berlawanan serta memiliki berbagai aktor dalam menentukan arahnya.
Sejak Amerika merilis keterlibatan CIA dalam peristiwa G30S PKI, 1965, sejarah kelam tahun 1965 yang selama ini dibebankan kepada Komunis atau PKI menjadi sebuah pertanyaan baru. Bukankah CIA yang membantu tentara saat itu untuk menggulingkan Sukarno dan membantai orang-orang Komunis di Indonesia?
Hak kaum komunis atau anak-anaknya tentunya adalah hak historis yang sah untuk menuntut pembersihan nama baik mereka serta membenarkan tafsir sejarah di masa lalu.
Namun, bagi umat Islam, Komunisme sebagai ancaman tentu juga sebuh keniscayaan sejarah. 1. Komunisme telah terbukti sepanjang sejarah kehadirannya sebagai ideologi anti Tuhan. 2. Komunisme jika berkuasa akan melakukan pemerintahan diktator proletariat, yang menihilkan pemilikan individual, menihilkan demokrasi dan kebebasan individual. 3. Komunis jika berkuasa akan menjadikan agama sebagai musuh, sehingga eksistensi agama hilang sebagai ajaran kehidupan.
Pandangan umat Islam atas Komunisme ini dengan demikian bersifat laten dan tidak terikat pada perubahan tafsir yang mungkin terjadi pada peristiwa G30S PKI. Sehingga, kebangkitan Komunisme di Indonesia tetap dianggap ancaman bagi Islam dan ummat Islam yang mayoritas di Indonesia.
Lalu bagaimana meletakkan kepentingan anak-anak eks PKI versus kepentingan ummat Islam atas isu ini?
Dendam Sejarah
Gatot Nurmantyo menjelaskan pada Rosi bahwa anak-anak PKI ini mempunyai dendam sejarah. Sebaliknya ulama-ulama dan umat Islam tidak. Ulama-ulama, bahkan menurut GN, lebih besar korbannya dibanding PKI selama ini dalam berbagai peristiwa di masa lalu.
Sejarah yang berdarah tentunya melahirkan dendam. Namun, dendam dalam teori konflik dan resolusi konflik tidak memberikan peluang bagi perdamaian. Perdamaian justru muncul kalau pihak-pihak yang bertikai di masa lalu mempunyai ruang intropeksi dan ruang komunikasi.
Beberapa tahun lalu, Taufik Kiemas, berusaha menjembatani berbagai kelompok-kelompok yang bertikai di masa lalu melupakan sejarah kelam itu, setidaknya mengurangi dendam. Pertemuan periodik antara anak-anak tokoh Darul Islam, anak-anak eks PKI dan anak-anak eks Jenderal difasilitasinya berdialog secara rutin.