Ibrahim AS Dan Komunitas

Ibrahim AS dan Komunitas

Selain dikenal sebagai bapak para nabi (abul ambiya), Ibrahim juga dikenal dalam agama Islam sebagai representasi umat. “Kaana ummatan qaanitho” dalam bahasa Al-Quran.

Ini menunjukkan bahwa dari sekian banyak ketauladanan yang harus kita tauladani, salah satunya yang penting adalah menauladani Ibrahim dalam membangun komunitas atau umat.

Dimulai dari kehidupan keluarga, anak dan generasi, hingga kepada pembentukan peradaban terefleksi (terpancar) dari perjalanan sejarah hidup Ibrahim AS.

Dalam proses membangun komunitas (masyarakat) atau peradaban itu Ibrahim memulai dengan membangun “fondasi” yang sangat kuat. Fondasi Komunitas dan peradaban itulah yang dalam agama kita kenal dengan iman.

Dari awal hidupnya Ibrahim memilih karakter keimanan yang luar biasa (extraordinary). Beliau dilahirkan dalam sebuah lingkungan yang paradoks dengan ketauhidan (masyarakat musyrik).

Tapi Ibrahim kokoh dalam mempertahankan kecenderungan fitriyahnya. Tendensi ini lebih dikenal dengan istilah “haniif” (lurus atau bersih).

Sebuah pelajaran penting bahwa Iman itu ketika berada dalam sebuah lingkungan atau masyarakat dengan warna atau keadaan apapun, tidak akan terwarnai. Sebaliknya imanlah yang kemudian mewarnai masyarakat atau lingkungan itu.

Dalam proses tumbuh sebagai remaja, akal pikiran Ibrahim juga mengalami tingkatan kuriositas yang sangat tinggi. Keingin tahuan Ibrahim yang tinggi itu mengantarkannya kepada wawasan pemikiran yang tajam tapi terkontrol.

Bagaimana beliau berproses dalam menuju kepada kebenaran mutlak Ilahi. Dari bintang-bintang ke bulan dan matahari, pada akhirnya kepada sebuah kesimpulan bahwa “Sesungguhnya Tuhan itu adalah yang mencipta langit dan bumi yang tiada sekutu baginya”.

Ibrahim pun membangun kesadaran dan komitmen “menghadapkan wajah hanya pada-Nya seraya berserah dan tidak akan menyekutukan-Nya”.

Keyakinan yang unshakable (kokoh) ini menjadikannya terdorong untuk menjadi agen perubahan (agent of change) dalam masyarakat. Dia pun mulai mengajak masyarakat, bahkan ayahnya sendiri untuk merubah kesyirikan itu kepada Tauhid.

Pelajaran dari penggalan sejarah ini adalah bahwa proses pembentukan masyarakat atau umat tidak bisa terlepas dari perjuangan dakwah. Realita ini merupakan sunnatullah yang kita ambil dari sejarah panjang para nabi dan rasul.

Bahwa umat dan peradaban tidak akan terwujud kecuali dengan komitmen perjuangan dalam dakwah. Dakwahlah yang menjadi pintu terbentuknya umat dan peradaban.

Demikianlah Ibrahim AS terus melangkah dalam mendakwahkan tauhid di masanya. Dan sebagaimana tabiat dakwah itu sendiri, resistensi demi resistensi juga semakin menguat.

Dari sesama pemuda, masyarakat umum, hingga ke raja bahkan ayahnya sendiri menentang ajakan Ibrahim untuk mengimani “laa ilaaha illa Allah“.

Hingga suatu ketika Ibrahim dengan darah mudanya, diam-diam menghancurkan berhala-berhala yang ada di rumah ibadah masyarakatnya. Dan itu dilakukan di saat raja dan sebagian masyarakat sedang keluar daerah untuk pelasiran.

Ibrahim menghancurkan semua paying itu kecuali yang terbesar. Kampak yang dipakai pun digantungkan ke pundak patung besar itu.

Sekembali dari pelasiran sang raja bergegas ke rumah ibadah untuk melakukan ritual ibadah. Ternyata patung-patung mereka telah hancur kecuali patung terbesar. Sang raja marah besar dan meminta agar yang melakukan pengrusakan itu ditangkap.