Jadi begini, inti masalahnya adalah apakah ungkapan yang dilontarkan oleh HRS itu memiliki sandaran dalam referensi keislaman kita? Ini menarik.
Jika kita membaca sirah nabawiyah dengan teliti, kita akan mendapati episode-episode menarik yang dapat kita jadikan ruang memberi uzur kepada ulama seperti HRS dalam melontarkan ungkapan merendahkan kepada seorang artis yang melecehkan ulama dan menghina perjuangan beliau. Salah satunya adalah ungkapan Abu Bakar as-Shiddiq yang dilontarkan di hadapan Nabi saw ketika membentak ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi saat terjadi peristiwa Hudaibiyah tahun 6 H.
‘Urwah yang saat itu menjadi delegasi kaum kafir Quraisy untuk menemui Rasulullah saw di Hudaibiyah meragukan kesetiaan para sahabat dalam membela Nabi saw dengan melontarkan ungkapan merendahkan. Mendengar ungkapan itu, Abu Bakar angkat bicara. Beliau membentak ‘Urwah bin Mas’ud dengan mengatakan, “Umshush bi bazhri al-laat” (sedotlah olehmu kemaluan berhala Latta). Riwayat tersebut disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya. Ini adalah ungkapan paling menyakiti perasaan jika didengar oleh orang arab. Arti dari ungkapan ini pun sangat jorok jika ditangkap oleh telinga orang Indonesia.
Abu Bakar.. wamaa adraaka man Abu Bakar. Sosok santun yang kebiasaannya menangis di hadapan Rabbnya. Sosok pemurah yang hartanya diinfakkan semua di jalan Allah. Dari lisan beliaulah ungkapan tersebut keluar. Radhiyallahu ‘anhu wa ardhaah. Beliau melontarkan ungkapan itu kepada orang yang pantas mendapatkannya dan dalam situasi dan kondisi yang tidak biasa. Mari kita simak penjelasan para ulama, ketika mensyarah umpatan Abu Bakar as-Shiddiq ini.
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari mengatakan, “Ujaran ini adalah dalil bolehnya melontarkan ungkapan jorok dengan maksud memberikan pelajaran kepada orang yang berhak mendapatkannya.” Ibnul Qayyim dalam az-Zaad berujar, “Ini menunjukkan bolehnya menyebut bagian dari aurat dengan terus terang, jika terdapat maslahat pada konteks tersebut.” Adapun Ibnu Taimiyah berkata, “Jika lawan bicara melakukan kezaliman, maka kita tidak diperintahkan untuk menjawabnya dengan ujaran yang baik.”
Para ulama berpendapat bahwa jika konteks yang dihadapi menghajatkan seseorang harus terus terang mengungkapkan ungkapan buruk demi menghadirkan maslahat dan mencegah kerusakan, maka hal itu tidak mengapa dilakukan. Ini tidak bertentangan dengan sabda Nabi saw, “Seorang mukmin itu tidak menjadi pencaci, pelaknat dan berujar kotor.” Dalilnya adalah firman Allah, “Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nisa’: 148) dan dalam konteks Abu Bakar, Nabi saw tidak menegur beliau. Kalaulah yang dilakukan beliau adalah kekeliruan, maka pasti Baginda Nabi saw melarangnya. Tetapi Nabi saw justru membiarkannya sebagai sebuah taqrir (persetujuan). Dan beliau tidak pernah sama sekali menyetujui sesuatu jika hal itu adalah batil.