Tim kampanye Jokowi mengklaim mendapat dukungan dari 31 dari 34 gubernur, dan 359 dari 514 walikota dan bupati. Implikasi elektoral beralihnya dukungan para kepala daerah ini masih harus dilihat. Tetapi kapasitas para kepala daerah dalam melakukan mobilisasi, dan hasil pemilihan sebelumnya, menunjukkan tingkat korelasi antara afiliasi gubernur dan walikota, memberi saham suara lokal bagi calon presiden.
KPK juga tampak semakin bisa dikompromikan di bawah Jokowi. Ditangkap dan diadilinya Ketua Umum Golkar Setya Novanto pada kasus e-KTP dipuji sebagai kemenangan bagi agensi. Tetapi KPK mengalah dan mengeluarkan politisi PDIP dari dakwaan. Padahal dari pengakuan Novanto sejumlah politisi PDIP terlibat dalam kasus tersebut.
Hingga Oktober 2018, tidak ada politisi PDI-P berprofil tinggi yang ditangkap. Hal ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan: Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, yang diyakini memiliki pengaruh besar di antara para agen KPK yang direkrut dari kepolisian, adalah sekutu dekat ketua PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Melawan Oposisi Akar Rumput
Penggunaan kasus-kasus korupsi untuk pengaruh politik bukanlah satu-satunya cara dimana aparat negara digunakan oleh pemerintah Jokowi untuk keuntungan partisan menjelang pemilu. Selama tahun 2018, polisi telah meningkatkan upaya untuk menekan gerakan # 2019GantiPresiden.
Para aktivis #2019GantiPresiden sering menerima laporan bahwa polisi menyita barang dagangan dari penjual dan mengintimidasi orang yang menampilkan hashtag #2019GantiPresiden. Pada bulan Juni hingga September, jadwal acara #2019GantiPresiden di Serang, Bandung, Pekanbaru, Surabaya, Pontianak, Bangka Belitung, Palembang, Aceh dan bagian lain negara dilarang atau dibubarkankan oleh polisi. Seringkali polisi menggunakan bantuan kelompok penentang.
Setelah pembubaran acara #2019GantiPresiden di Surabaya, Menko Maritim (Power menulisnya sebagai Menko Polhukam.red) Luhut Pandjaitan berpendapat bahwa kegiatan itu memang harus dilarang. Dengan begitu dapat mencegah perselisihan sosial dan bentrokan antara demonstran pro-pemerintah dan oposisi. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang berusaha menampilkan diri sebagai kekuatan baru untuk politik progresif dan demokratis, juga mendukung penindasan gerakan dengan alasan “mengarahkan kebencian kepada presiden”.
Banyak justifikasi hukum untuk mendukung tindakan keras tersebut. Pada bulan Maret, polisi mengumumkan sedang menyelidiki aktivis Neno Warisman dengan kecurigaan bahwa pembuatan grup WhatsApp menggunakan tagar # 2019GantiPresiden melanggar Undang-undang Transaksi Elektronik (UU ITE), atau bahkan merupakan pengkhianatan.
Memobilisasi Militer
Kekhawatiran telah tumbuh selama masa kepresidenan Jokowi tentang munculnya kembali falsafah “Dwi fungsi” di dalam militer. Termasuk melalui konsolidasi struktur komando teritorialnya dan keterlibatan baru tentara dalam program-program sosial dan ekonomi yang dipimpin pemerintah.
Pada tahun 2018, setelah memperkuat pengaruh pribadinya di dalam angkatan bersenjata melalui pemasangan sekutu pribadi sebagai Panglima TNI (Marsekal TNI Hadi Tjahjono), Jokowi bahkan melangkah lebih jauh dalam mendorong TNI kembali ke politik (repolitisasi).
Pada bulan Juni, Jokowi mengumumkan kenaikan tunjangan yang cukup besar besar untuk Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI. Pada bulan Juli, ia menyampaikan pidato kepada para petugas Babinsa di Makassar dimana ia menginstruksikan para prajurit di tingkat desa untuk menghentikan penyebaran “hoax” yang menghubungkannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada bulan Agustus, Jokowi berpidato lagi di mana dia menginstruksikan polisi dan perwira militer untuk mempromosikan pencapaian program pemerintahnya kepada masyarakat.
Tindakan Jokowi ini merupakan langkah mundur, dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Salah satu prestasi besar Susilo Bambang Yudhoyono adalah penerimaan oleh elit TNI bahwa “militer adalah alat eksekutif administrasi.” Namun Jokowi tampaknya siap menggunakan alat ini untuk melayani tujuan-tujuan partisan, dalam konteks kampanye pemilihan umum.
Sejak jatuhnya Orde Baru, militer dan polisi tidak lagi dikerahkan secara sistematis untuk memberikan keuntungan politik kepada pemerintah yang berkuasa. Kecenderungan penggunaan militer dan polisi pada Pilpres 2019, akan menandai langkah lain dalam ketidakseimbangan yang parah dari medan permainan antara pemerintah dan oposisi. Militer dan politisi adalah sebuah fitur yang tidak terkait dengan demokrasi. Itu adalah bentuk otoriterisme pemilihan dan hibriditas sebuah rezim.
Salah satu alasan penggunaan instrumen penegakan hukum dan lembaga keamanan bagi kemenangan Jokowi, mungkin disebabkan kurangnya kepercayaannya pada keandalan dan efektivitas partai politik, organisasi sosial, dan kelompok relawan pendukungnya.
Interaksi dengan parpol, elit politik dan organisasi masyarakat sipil, tampaknya telah membuat Jokowi belajar bahwa alat-alat negara jauh lebih mudah digunakan dan jauh lebih efektif dalam mengatasi perlawanan politik dari oposisi. [***]
Penulis: Hersubeno Aroef, pemerhati ruang publik. Artikel ini dikirim penulis untuk Kantor Berita Politik RMOL. [rmol]