Hersubeno Arief:Karena Survei Kompas, Rusak Survei Sebelanga

Formula lama, Jokowi sangat merakyat, coba kembali diterapkan. Ternyata sudah tidak laku. Jokowi menjadi korban perundungan (bully) ketika pulang ke Istana Bogor dengan menggunakan kereta api Commuter Line (KRL). Sihir itu juga kembali tidak bekerja ketika Jokowi bersama istri mencoba perjalanan perdana MRT di Jakarta.

Sangat wajar ketika muncul publikasi Litbang Kompas, mereka menjadi meradang.

Pencitraan dan publikasi survei adalah dua senjata utama dan ajimat sakti Jokowi. Keduanya sukses membawa Jokowi dari Solo menuju Jakarta dan kemudian menghuni Istana Merdeka.

Publik pasti belum lupa bagaimana setiap hari disuguhi media berita dan foto-foto Jokowi mengenakan sepatu kets blusukan, dan masuk gorong-gorong. Citra Jokowi pejabat yang sederhana, dekat dengan rakyat, berhasil ditancapkan media ke dalam memori kolektif publik. Saat itu sihir Jokowi dan media masih sakti.

Bersamaan dengan itu publik digelontor dengan publikasi survei. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menjadi salah satu korbannya. Dia tak berdaya. Menyerah menghadapi gerilya politik dan tekanan publik opini yang dibangun lembaga survei dan media.

Saat itu framing lembaga survei dan media, perolehan suara PDIP akan anjlok bila tak memilih Jokowi sebagai capres. Sebaliknya suara PDIP akan melejit bila Jokowi yang dijadikan capres. Mereka tahu diam-diam Megawati sebenarnya ingin mencalonkan diri kembali. Karena itu perlu digerilya dan ditekan.

Jokowi akhirnya dicalonkan menjadi capres PDIP dan sukses menjadi presiden. Namun suara PDIP tidak melejit. Benar PDIP menjadi pemenang pemilu, namun angkanya tidak terlalu tinggi.

Resep lama berupa perpaduan media dan lembaga survei itu terus berlanjut sepanjang pemerintahan Jokowi. Kepuasan atas kinerja Jokowi digambarkan seolah-olah masih tinggi. Dia pasti akan terpilih kembali.

Lembaga survei juga mencoba membangun orkestrasi bahwa elektabilitas Jokowi tetap tinggi. Posisinya seakan kian tidak terbendung 1 bulan menjelang hari H pilpres. Elektabilitasnya mendekati 60 persen.

Tiba-tiba survei Litbang Kompas membuyarkan semua mimpi indah itu. Elektabilitas Jokowi ternyata masih di bawah 50 persen, sangat bahaya bagi seorang inkumben. Ada lebih dari 50 persen rakyat yang tidak akan memilihnya.

Sebagai jaringan media pendukung inkumben, sikap Kompas tidak bisa diterima. Sebuah pengkhianatan. Karena itu harus dihukum.

Kompas menghancurkan strategi pembentukan opini bernilai jutaan dolar yang dengan susah payah dibangun. Meminjam bunyi pepatah : Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena survei Kompas, rusak survei Denny JA dan gerombolannya.

Apakah nasib Jokowi akan sama seperti nasib Ken Arok? Dia naik kekuasaan karena keris Empu Gandring, dan terbunuh dengan senjata yang sama.

Jokowi besar dan naik ke tampuk kekuasaan karena lembaga survei, dan dia akan jatuh karena lembaga survei pula? [end/Hersubeoarief.com].

BEST SELLER BUKU PEKAN INI, INGIN PESAN? SILAHKAN KLIK LINK INI : https://m.eramuslim.com/resensi-buku/resensi-buku-diponegoro-1825-pre-order-sgera-pesan.htm