Di media sosial ucapan-ucapan Wiranto yang dimuat media kembali bertebaran. Ketika ada prajurit TNI yang tewas di Nduga, Papua, dia minta agak tidak perlu dibesar-besarkan. “Risikonya memang seperti itu,” ujarnya.
Wiranto benar. Risiko seorang prajurit yang bertugas di daerah rawan, apalagi medan tempur: kill or to be killed. Membunuh atau dibunuh.
Tapi ya tidak perlu disampaikan ke publik. Sensitif lah terhadap Keluarga prajurit.
Ketika terjadi gempa di Ambon, Wiranto dikutip pernah menyatakan, agar para pengungsi segera kembali ke rumah, supaya tidak jadi beban pemerintah.
Ucapan yang membuat warga Ambon gondok alang kepalang.
Selain tidak sensitif, ucapan itu juga menunjukkan sebagai pejabat publik tidak punya empati. Lebih jauh lagi tidak paham tugas dan tanggung jawabnya.
Tugas negara, tugas pemerintah mengurus rakyatnya. Jangan dianggap beban. Kalau tidak mau dibebani rakyat, ya jangan jadi pejabat pemerintah.
Nah ketika sekarang Wiranto ditusuk orang, netizen membalas. “Tidak perlu dibesar-besarkan”, “Risikonya sebagai pejabat keamanan memang seperti itu”, “Segera keluar dari RSPAD. Jangan jadi beban pemerintah!”.
Bagaimana memahami sikap bangsa kita saat ini?
Konsep the other yang diperkenalkan oleh filsuf kontemporer Perancis Emmanuel Levinas, atau liyan dalam bahasa Jawa, tidak cukup memadai untuk menggambarkannya.
Dalam bahasa Jawa, liyan, orang lain, merupakan konsep berpikir, yang satu merasa lebih unggul dan lebih benar dibanding yang lain.
Tanpa sadar orang Jawa sering menyebut sesuatu yang tidak benar, sebagai tidak “njawani”. Tidak Jawa.
Realita yang terjadi saat ini bukan hanya soal yang satu merasa superior dengan yang lain.
Bangsa kita adalah bangsa yang terbelah. Tidak percaya satu dengan lainnya. Curiga satu dengan yang lain. Merasa paling benar dan yang lain selalu salah. Apapun yang dilakukan pihak lain, tidak ada yang benar.
Beda dengan sikap kritis yang harus tetap menjunjung obyektivitas.
Perlu keberanian untuk mengakui dan mengambil langkah konkrit.
Presiden, pejabat pemerintah, berhentilah melakukan framing, lebeling, pelakunya terpapar kelompok radikal, ISIS dan entah stigma apalagi.
Berhentilah mengklaim merasa paling Pancasila, dan paling NKRI.
Pasti akan ada reaksi balik. Akan ada perlawanan.
Semua itu hanya akan memperparah pembelahan masyarakat.
Peristiwa penusukan Wiranto harusnya menjadi sebuah alarm yang bersuara sangat nyaring. Ada yang salah dengan bangsa ini! Kita sedang menuju jurang kehancuran.
Kita, rakyat, para pemimpin, terutama Presiden Jokowi harus segera mengambil langkah konkrit!
Penulis: Hersubeno Arief, pemerhati sosial.(*)