Hersubeno Arief: Membaca Langkah Politik Jend. Gatot dan Jokowi

Banyak yang menuding Gatot menyeret kembali TNI ke politik praktis. Dia juga dituding punya ambisi khusus menjadi presiden atau setidaknya wapres.

Pilihan sadar

Ketika bertemu dengan Jokowi di istana untuk melaporkan rangkaian kegiatan HUT TNI ke-72, Gatot sebenarnya mengundang Jokowi untuk Nobar wayang. Namun Jokowi ternyata malah memilih Nobar film G30S/PKI.

Keputusan Jokowi untuk Nobar film G30S/PKI dan pilihan tempatnya di Markas Korem Suryakencana, Bogor sungguh sangat menarik.

Pertama, Jokowi telah menegaskan sikap dan posisi politiknya di seputar kontroversi pemutaran film G30S/PKI. Kedua, Jokowi menunjukkan bagaimana penilaiannya atas berbagai “manuver” Gatot dan posisi tentara.

Langkah ini mengingatkan kita pada saat Jokowi akhirnya memutuskan untuk hadir di tengah jutaan umat Islam yang menggelar aksi 212. Di tengah hujan rintik, Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla berjalan kaki dari Istana Merdeka menuju lapangan Monas untuk ikut salat Jumat berjamaah.

Salah satu figur yang mendampingi Jokowi adalah Gatot. Dia hadir dengan tampilan mencolok, mengenakan seragam militer, namun dengan kupiah putih.

Posisi Gatot saat itu juga berbeda dengan arus politik besar di kalangan partai pendukung pemerintah dan sejumlah pejabat tinggi, terutama kepolisian. Gatot dengan tegas menolak jika aksi jutaan umat Islam menuntut penegakkan hukum terhadap Ahok, sebagai tindakan makar.

Pada kasus Nobar, Gatot dengan santainya menyatakan “emang gua pikirin,” ketika ditanya tentang banyaknya suara menentang pemutaran kembali film G30S/PKI.

Suara-suara yang paling keras menentang Nobar Fim G30S/PKI berasal dari politisi PDIP yang nota bene partai Presiden Jokowi, dan kelompok-kelompok yang dulu dikenal sebagai pendukung Ahok.

Sebaliknya pendukung dan yang paling bersemangat menggelar Nobar adalah umat Islam yang pada pilkada DKI menjadi penentang Ahok.

Keputusan Jokowi untuk bergabung dengan warga yang menggelar Nobar di markas tentara, setidaknya menunjukkan pendulum politiknya bergerak lebih ke kanan, seperti jalan yang selama ini dipilih oleh Gatot.

Apakah pilihan tersebut sekedar kalkulasi politik yang pragmatis, karena umat Islam adalah pemilih terbesar pada Pilpres 2019, atau merupakan sebuah kesadaran bahwa semua warga harus dirangkul, termasuk umat Islam yang merupakan mayoritas? Semua itu masih menjadi pertanyaan besar.

Dalam situasi seperti ini, kita perlu mengingat-ingat kembali kata-kata yang disampaikan oleh Presiden Perancis Charles de Gaulle, “Untuk menjadi tuan, politisi menampilkan diri seperti pelayan.” (maida)

Penulis: Hersubeno Arief (Konsultan Komunikasi dan Politik)

Source link

https://m.eramuslim.com/resensi-buku/resensi-buku-pre-order-eramuslim-digest-edisi-12-bahaya-imperialisme-kuning.htm