Parikesit adalah cucu dari Arjuna, salah satu kesatria Pandawa paling tampan. Bapaknya bernama Abimanyu tewas dalam perang Baratayudha.
Setelah keluarga Pandawa memutuskan meninggalkan dunia politik, berbagai intrik dan konspirasi politik dilakukan untuk menggagalkan Parikesit menjadi raja. Namun karena sudah menjadi takdirnya, Parikesit tetap menjadi raja.
Gatot punya tafsir sendiri soal lakon tersebut. Menurutnya pasca Baratayudha negara kacau balau. “Perang itu menyakitkan, menang atau kalah pasti rugi. Menata perlu waktu, tenaga, dan biaya. Maka utamakanlah persatuan,” ujarnya.
Soal judul lakon, Gatot memilih mengartikan kata “nata” sebagai pemimpin. Dia tidak menggunakan kata raja. Kelihatannya Gatot mencoba menghindari tafsir politik lebih jauh, karena dalam era demokrasi raja itu sama dengan presiden.
Dalam konteks politik kekinian, lakon “Parikesit Jumeneng Nata” bisa diartikan sebagai sebuah peringatan, bahwa manuver politik harus dilakukan secara baik, jangan sampai menimbulkan peperangan.
Kekuasaan itu juga mutlak wewenang dan hak prerogatif Tuhan.
Para politisi boleh melakukan intrik, manipulasi, konspirasi, bahkan sampai pembunuhan (karakter), namun kalau seseorang sudah ditakdirkan menjadi raja (presiden), maka tidak ada satu kekuatanpun yang bisa menghalangi.
Peringatan ini berlaku untuk Jokowi, para kandidat penantangnya, juga termasuk untuk Gatot sendiri. Entah secara kebetulan atau tidak, belakangan banyak suara-suara sumbang terhadap Gatot yang memerintahkan Nobar film G30S/PKI, dan yang terakhir soal isu pembelian 5.000 senjata oleh Badan Intelijen Nasional (BIN).