“Seiring dengan maraknya konflik antara AS dengan Tiongkok, mulai dari perang dagang, penekanan AS terhadap perusahaan teknologi tinggi Tiongkok Huawei, hingga ‘RUU HAM Hong Kong’ yang belum lama ini diluluskan. Pihak AS selalu menentang dan melawan Tiongkok, begitu juga dengan media-media barat yang selalu memberitakan berita yang bertentangan dengan Tiongkok,” tulis Wangxin.
Dua hari kemudian, Jumat (13/12) Duta Besar China di Jakarta, Xiao Qian muncul dalam wawancara panjang di laman detik.com. Judulnya : Blak blakan Duta Besar RRC Xiao Qian. “Ketimbang AS, Dubes RRC Sebut China Sobat Sejati Dunia Muslim”.
Ketimbang Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat China (RRC) lebih bersahabat terhadap negara-negara muslim di dunia, termasuk Indonesia. Indikasinya, kata Dubes RRC untuk Indonesia, China selalu berada dalam satu barisan dengan negara-negara muslim seperti Indonesia dalam menghadapi isu konflik di Timur Tengah.
“Justru kita lihat AS dalam hubungannya antara Palestina dan Israel selalu memihak Israel dan berseberangan dengan negara Arab. Juga banyak membuat kekacauan di Irak, Suriah, Libya dan Afghanistan. Justru China adalah sahabat sejati dunia muslim”.
Dilihat dari konten maupun timingnya. Baik artikel dan wawancara tersebut adalah artikel berbayar (sponsored content). Mereka tampaknya menyadari adanya operasi media yang sedang dilakukan oleh AS terhadap China.
Tanpa basa-basi mereka dengan tegas menuding AS berada dibalik operasi media menghancurkan kredibilitas China di dunia internasional. Khusus untuk Indonesia menjadi sangat penting untuk dimenangkan opininya.
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar. Belum lagi adanya kepentingan investasi China di Indonesia yang sangat besar.
China adalah isu yang sangat sensitif di Indonesia. Sangat mudah mendorong isu negatif China di Indonesia.
Jangan Sampai Hanya Menjadi Proxy
Bukan hanya kali ini China kebakaran jenggot akibat pemberitaan media tentang etnis Uighur.
Pada akhir November lalu, konsorsium jurnalis investigasi internasional (ICIJ) bekerjasama dengan 17 media partner memuat bocoran dokumen yang sangat sensitif.
Melalui bocoran dokumen tersebut dapat diketahui bagaimana China memperlakukan kurang lebih 1 juta pria Uighur yang dimasukkan ke dalam kamp pendidikan ulang (re-edukasi).
Dokumen-dokumen rahasia itu mengungkapkan cara pengelola kamp memantau dan mengendalikan setiap aspek kehidupan tahanan.
China menyadari bocornya dokumen, maupun pemberitaan itu bisa membahayakan posisinya di mata internasional, sekaligus senjata bagi AS yang kini tengah menjalani Perang Dagang dengan China.
Bukan tidak mungkin AS akan menjadikan isu etnis Uighur menjadi medan “perang tempur” kedua setelah Hongkong.
China menuding AS melalui ribuan agen intelijennya berhasil membuat destabilitas di Hongkong. Kota yang menjadi pintu masuk utama investasi asing ke China itu dilanda aksi unjukrasa besar-besaran sejak 9 Juni lalu.
Unjukrasa yang sudah berlangsung selama lebih dari 6 bulan itu berhasil melumpuhkan Hongkong. Kerugian China secara material luar biasa besar.
Jika AS berhasil menggalang opini publik internasional dan medorong eskalasi perlawanan di Xinjiang, maka akan menciptakan destabilitas politik baru yang kian menekan pemerintah di China.
Sangat mungkin AS melalui operasi intelijennya mendorong para jihadis dari negara-negara Islam masuk ke Xinjiang, seperti mereka mendorong konflik Suriah di Timur Tengah. Uighur akan menjadi agenda komunitas internasional.
Pemerintah AS sebagaimana pengakuan Hillary Clinton berada dibalik terbentuknya Islamic State of Iraqi and Suriah (ISIS). Monster ciptaan AS itu dibentuk untuk mendorong konflik berkepanjangan di Suriah dan menciptakan destabilitas di kawasan Timur Tengah.
Peta persaingan politik global antar-negara adidaya yang sedang memperebutkan supremasi dunia inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang isu etnis muslim Uighur.
Indonesia, khususnya umat Islam harus mulai bisa memilah, mana yang menjadi kepentingan terhadap pembelaan terhadap sesama umat Islam, dan mana yang menjadi kepentingan politik global.
Pembelaan terhadap muslim Uighur yang tertindas, bagaimanapun juga harus terus digaungkan. Kita tidak boleh menutup mata bahwa etnis Uighur diperlakukan secara semena-mena oleh pemerintah China.
Komitmen itu harus terus dipegang teguh, bukan hanya karena atas nama solidaritas muslim, tetapi sebagai bentuk komitmen atas hak asasi manusia.
Yang harus disadari, kita perlu waspada jangan sampai ribut-ribut sendiri antar elemen anak bangsa. Hanya menjadi proxy dalam Perang Dagang dan perebutan supremasi global antara Cina dan AS.
Jangan sampai seperti bunyi pepatah “ Gajah Lawan gajah, pelanduk mati di tengah”.(end)
Penulis: Hersubeno Arief, pemerhati ruang publik