Publik terutama kalangan alumni 212 dibuat terbengong-bengong. Bagaimana mungkin seorang pengacara HRS menjadi caleg PDIP. Padahal HRS selama ini sudah mengeluarkan “fatwa” haram hukumnya memilih partai pendukung penista agama. Banyak yang mencurigai Kapitra adalah seorang “agen” yang disusupkan.
Ahmad Dhani, dan Fadli Zon termasuk yang curiga, bahkan meyakini bahwa handphone RS telah disadap. Keduanya mempersilakan percakapannya dengan RS dibuka kepada publik.
Dua orang ini termasuk beberapa teman yang berkomunikasi dengan RS, sebelum kasusnya meledak. Dhani mengaku dikontak sampai tiga kali oleh RS, sementara Fadli mengaku mendapat kiriman foto wajah RS yang “babak belur” melalui WA. Selain kepada Fadli, foto dengan keterangan “off the record, 21 September malam” itu, juga dikirim ke aktivis buruh Said Iqbal, dan ajudan Prabowo.
Fadli kemudian mengontak RS dan mendapat keterangan bahwa dirinya dianiaya. Pada 30 September sore Fadli mengunjungi Ratna di rumahnya dan mendapat cerita lengkap. “Aku sangat down, aku nggak terima perlakuan negara ini kepada saya,” tutur RS ke Fadli.
Seperti kita ketahui, RS kemudian menceritakan hal yang sama kepada Prabowo, Amien Rais, dan sejumlah tokoh lainnya. Beritanya langsung meledak.
Ratna akhirnya mengaku berbohong, setelah polisi dalam waktu yang super singkat membeberkan fakta, bahwa RS bukan dianiaya. Prabowo secara terbuka meminta maaf kepada publik. Para pendukung Prabowo menyebut mereka dibohongi, bukan berbohong. Namun muncul kecurigaan, ada apa di balik semua kehebohan ini?
Untuk apa RS berbohong? Kalau untuk membuat alibi agar tidak diketahui anak-anaknya telah melakukan sedot lemak dan operasi plastik (oplas), apa perlunya sampai melibatkan Ahmad Dhani, Fadli Zon, bahkan sampai Prabowo, dan Amien Rais? Kok sangat berlebihan.
Pengakuan ini juga mudah dipatahkan. Polisi mempunyai bukti pembayaran oplas sebesar Rp 90 juta dengan melakukan auto debet sebanyak tiga kali melalui ATM milik anak lelakinya. Keluarganya jelas sudah tahu, setidaknya anak lelakinya.