Mereka ini sangat peduli dengan isu radikalisme, namun abai dengan rekam jejak korupsi.
Irjen Pol Firli Bahuri yang terpilih menjadi Ketua KPK yang baru, banyak dipersoalkan publik. Saat menjadi Direktur Penindakan KPK dia terbukti melakukan pelanggaran berat secara etik.
Firli terbukti beberapa kali bertemu beberapa orang yang diduga melakukan tindak korupsi dan menjadi obyek penyelidikan dan penyidikan KPK.
Dia lolos dari hukuman, karena keburu ditarik oleh Mabes Polri. Firli malah dipromosikan menjadi Kapolda Sumatera Selatan.
Labeling, stigma semacam itu kali ini dipastikan akan mentok. Selain memang tidak berdasar, juga salah sasaran. Maklumlah karena terbiasa ngawur dan hantam kromo.
Rezim pemerintahan Jokowi justru akan menghadapi perlawanan perorangan, lembaga, media, dan jutaan orang yang dulu menjadi pendukungnya pada Pilpres 2019.
Bagaimana mungkin figur seperti Syafi’i Maarif, Sinta Nuriyah Wahid, ICW, Kompas, Tempo Group termasuk kelompok “radikal?”
Mereka adalah pendukung garis keras Jokowi. Kalau menggunakan terminologi lama, mereka adalah Cebong akut. Kok bisa tiba-tiba menjadi Kampret Radikal?
Label radikal ini, kalau terus digunakan untuk melawan kelompok kritis, dipastikan akan menjadi bumerang. Menyerang balik pemerintahan Jokowi.
Publik akhirnya bisa menilai, memilih, dan memutuskan.
Bersama mereka yang mengklaim paling Pancasila, paling NKRI, bersamaan dengan itu melindungi para koruptor. Atau bersama kekuatan rakyat yang radikal dalam memberantas korupsi!?
Koruptor itu harus dihukum mati! Bukan harga mati! (*)
Penulis: Hersubeno Arief, Wartawan Senior