Khilafah dan radikal adalah satu paket. Siapapun yang dianggap kritis, apalagi menentang kebijakan pemerintah, akan dicap sebagai pendukung khilafah dan radikal.
Targetnya menyingkirkan umat Islam dari kancah politik, sekaligus menyingkirkan lawan-lawan politik pemerintah. Entah dia Islam, abangan, maupun non Islam.
Masih ingat bagaimana isu radikal dan khilafah digunakan untuk menghancurkan Prabowo pada Pilpres 2019.
Prabowo kok radikal? Pendukung khilafah?
“Entuk pirang perkoro?” kata orang Yogya.
Tapi para pendukung Jokowi percaya itu. Tutup mata dan meyakini. Pejabat pemerintah, tokoh dan media pendukung Jokowi terus memproduksi, menggunakan isu itu.
Proses labeling dan stigma itu kini kembali terulang. Namun kelihatannya bakal salah sasaran. Bisa menjadi senjata makan tuan.
Coba perhatikan dalam kontroversi revisi RUU dan pemilihan pimpinan KPK. Isu radikal digunakan untuk memberi stigma kepada mereka yang menentang.
Cap radikal juga dijadikan semacam legitimasi agar publik mendukung hasil pemilihan pimpinan KPK yang baru.
Substansi utama bahwa seorang pimpinan KPK adalah pribadi berintegritas tinggi, bersih korupsi, justru tidak penting.
Seperti sebuah orchestra mereka menggiring isu ini. Mulai dari isu adanya kelompok “Taliban”versus “polisi India” di KPK, dan kemudian soal radikal.
Parahnya operator yang mengendalikan isu ini diduga ngendon di istana. Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas menduga isu Taliban dimainkan, dipolitisasi istana.
Hendardi salah satu anggota panitia seleksi (Pansel) capim KPK memastikan, salah satu proses seleksi adalah menelusuri rekam jejak intoleransi dan radikalisme capim.
Ketua Umum GP Anshor Yaqut Cholil Quomas menilai komposisi pimpinan KPK saat ini ideal. Bisa untuk pemberantasan korupsi sekaligus membersihkan kelompok radikal di KPK.