Eramuslim.com – Dunia internasional tengah ramai-ramai menekan pemerintah Cina berkaitan dengan penindasan minoritas muslim Uighur di negara bagian Xinjiang. Seperti dilaporkan oleh Komisi Tinggi HAM PBB, sekitar satu juta warga Uighur dimasukkan ke kamp konsentrasi. Pemerintah Cina menyebutnya sebagai kamp “pendidikan ulang.” Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, apa peran Indonesia?
Soal inilah yang kini tengah banyak disoroti, dan digugat oleh sejumlah aktivis hak asasi manusia. Seruan agar Indonesia segera turun tangan, atau setidaknya mengambil prakarsa ikut menekan pemerintah Cina, bergema di media sosial. Namun harapan itu tampaknya akan sangat sulit terwujud. Seorang netizen menulis status menohok “Muslimin Uighur maafkan kami. Pemerintah kami sedang tidur.”
Lemahnya kompetensi Jokowi, membuat Indonesia saat ini menjadi negara yang kurang diperhitungkan dalam diplomasi internasional. Sepanjang periode pemerintahannya, Jokowi malah menarik diri dari forum-forum internasional. Dia terkesan sangat nyaman berlindung dalam “tempurung” aktivitas dalam negeri. Peran Indonesia sangat jauh bila dibandingkan dengan era Soekarno, Soeharto, Habibie, maupun SBY.
Hubungan dengan Cina yang disebut oleh Menko Maritim Luhut Panjaitan “tengah mesra-mesranya,” makin membuat Indonesia sulit untuk diharapkan berani bersikap keras atas negara tirai bambu itu.
Posisinya sangat berbeda dengan negara-negara Barat yang juga punya hubungan dagang sangat besar dengan Cina. Laman The economist.com edisi 22 November 2018 menurunkan sebuah laporan, negara-negara Barat saat ini tengah meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Cina.
Dengan judul “The West begins to stir over China’s massive abuse of Muslims,” The Economist melaporkan 14 negara Barat yang dipimpin Kanada mengirim para duta besarnya untuk menekan pemerintah Cina.
Bagi negara-negara Barat, situasi tersebut bukannya tidak menimbulkan dilema. Simon Tisdall dalam artikel berjudul ”China’s pitiless war on Muslim Uighurs poses a dilemma for the west,” pada laman The guardian.com menilai saat ini hubungan negara Barat dengan Cina tengah memasuki “era emas,” perdagangan dan ivestasi. Hal itu ditunjukkan dengan kedatangan PM Inggris Theresa May ke Beijing, Februari lalu.
Namun pada saat bersamaan, keyakinan mereka atas nilai-nilai hukum internasional yang telah lama mereka junjung tinggi, dihancurkan oleh rezim pemerintahan Cina. Dilema itulah yang menjelaskan mengapa kemudian negara Barat, ramai-ramai menekan Cina.