Ada beberapa pos yang statusnya ditingkatkan. Dari semula kolonel menjadi bintang satu. Bintang satu menjadi bintang dua, dan bintang dua menjadi bintang tiga.
Saat ini ada sekitar 500 perwira menengah TNI yang tidak mempunyai jabatan. Terbanyak di TNI AD. Mereka kata pegamat militer Salim Said diparkir di lantai 8 Mabes TNI AD.
Restrukturisasi dan penambahan jabatan jenderal itu masih belum mencukupi. Pemerintah berencana menempatkan mereka di 15 kementerian, departemen dan lembaga negara lainnya.
“Mudah-mudahan dari 500 orang perwira tanpa jabatan itu bisa berkurang menjadi 150-200 orang,” ujar Panglima TNI Hadi Tjahjanto.
Rencana pemerintah itu segera mengundang protes dari koalisi masyarakat sipil. Puluhan lembaga dan perorangan sejak pekan lalu menggalang sebuah petisi online. Sampai hari Ahad (24/2) sudah lebih dari 10.000 orang yang menandatangani.
Di media sosial keberatan atas rencana pemerintah itu juga bergema sangat nyaring. Menariknya kluster terbesar penolakan terhadap isu itu berasal dari pendukung paslon Prabowo-Sandi. Sementara penolakan dari paslon pendukung Jokowi-Ma’ruf hanya satu dua orang saja.
Dua partai yang didirikan oleh jenderal, Gerindra dan Demokrat juga menentang keras rencana ini. Fakta ini sungguh ironis mengingat latar belakang masing-masing paslon. Jokowi berlatar belakang sipil. Sebaliknya Prabowo berlatar belakang militer.
Banyak kecurigaan Dwifungsi model baru ini merupakan strategi Jokowi merangkul dan memenangkan dukungan dari kalangan militer. Sebelumnya Jokowi juga sudah menaikkan tunjangan jabatan untuk bintara pembina desa (Babinsa) TNI menjadi setara dengan bintara pembina keamanan dan ketertiban (Babinkamtibmas) Polri.
Pada masa Orde Baru, Babinsa adalah mesin politik yang sangat efektif mendukung kekuasaan. Melalui peran teritorial ABRI, tangan-tangan politik pemerintah menjangkau sampai ke desa-desa.
Sejauh ini Jokowi sudah sangat berhasil mengendalikan dan meraih dukungan dari internal Polri. Polri sangat efektif menjadi alat untuk menekan lawan politik pemerintah.