(Bradshaw dan Howard 2017a) mendifinisikan cyber troops sebagai aktor pemerintah atau partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online.
Mereka ada yang menggunakan akun nyata (human) robot (bots), akun bajakan, dan cyborg. Perpaduan akun otomatisasi dengan kurasi manusia.
Tugas mereka selain melakukan propaganda, memperkuat pidato kebencian, manipulasi, pengambilan data secara ilegal, memecah belah lawan politik, dan penargetan mikro untuk menggertak dan melecehkan para pembangkang politik dan jurnalis online.
Pasukan dunia maya secara aktif membuat konten seperti meme, video, situs berita palsu atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan pengguna. Terkadang, konten yang dibuat oleh pasukan cyber ditargetkan pada komunitas atau segmen pengguna tertentu.
Dengan menggunakan sumber data online dan offline tentang pengguna, dan membayar untuk iklan di platform media sosial populer, beberapa pasukan cyber menargetkan komunitas tertentu dengan disinformasi atau media yang dimanipulasi.
Bradshaw dan Howard membandingkan perilaku, pengeluaran, alat, dan sumber daya pasukan yang digunakan, membagi kapasitas pasukan cyber di 70 negara dalam 4 kelompok.
Minimal cyber troop teams. Kapasitas pasukan maya yang rendah melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum tetapi menghentikan kegiatan sampai yang berikutnya.
(2) Low cyber troop capacity. Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen dengan hanya beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri. Indonesia termasuk dalam kelompok ini,