Netizen menilai kesediaan Prabowo bertemu dengan Jokowi sama dengan peristiwa ketika Pangeran Diponegoro bersedia bertemu penjajah Belanda.
Pertemuan di Magelang yang semula dijanjikan sebagai silaturahmi, berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dijebak. Berakhirlah Perang Jawa selama lima tahun (1825-1830).
Sebuah perang yang menguras sumber daya Belanda. Banyak nyawa pasukan Belanda melayang dan kas VOC terkuras habis.
Entah secara kebetulan setting peristiwanya kok mirip-mirip.
Penangkapan Pangeran Diponegoro terjadi saat umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri. Tanggal 2 Syawal 1245 Hijriah atau 2 Maret 1830. Sementara Prabowo bertemu pada tanggal 10 Dzulkaidah 1440 Hijriah, lebih kurang 40 hari setelah 1 Syawal 1440 Hijriah.
Sepanjang Indonesia mengadopsi sistem pemilihan langsung, inilah pertarungan terkeras yang pernah terjadi. Sebagai inkumben Jokowi mengerahkan semua sumber daya untuk mengalahkan Prabowo.
Setelah Pilpres Jokowi bersama para pendukungnya berusaha mati-matian bertemu Prabowo dan melakukan rekonsiliasi. Namun para pendukung Prabowo mati-matian mencegahnya.
Emak-emak bahkan sampai mendatangi rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta. Mereka membawa poster menolak rekonsiliasi. Aksi serupa kembali terulang Jumat (12/7).
Aksi ini membuat Prabowo galau. Faksi pendukung rekonsiliasi di internal Partai Gerindra sibuk melobi emak-emak agar tak lagi berunjukrasa ke rumah Prabowo. Mereka juga menyerang para penentang rekonsiliasi sebagar Poros Ketiga. Sebuah poros khayalan untk menghilangkan label mereka sebagai pengkhianat.
Kepada emak-emak yang sempat bertemu dengannya, Prabowo minta agar langkahnya bertemu Jokowi tidak disalahpahami.
Prabowo akhirnya memilih bertemu Jokowi. Kita tinggal menunggu apa langkah berikutnya, dan apa konsesi politik dan bisnis yang akan diperoleh. Apakah cukup sepadan?
Dari sisi Jokowi, kesediaan Prabowo untuk bertemu merupakan simbol kemenangan politik. Penyerahan diri dan simbol kepatuhan lawan politiknya. Kendati petemuan dilakukan di tempat netral, stasiun MRT, harus dilihat bahwa proyek itu adalah simbol keberhasilan dan kebanggaan Jokowi di bidang infrastruktur.
Benarkah kekhawatiran netizen bahwa Prabowo akan mengalami nasib yang sama dengan Diponegoro. Dia ditipu, ditangkap dan dibuang ke tempat pengasingan. Dipisahkan dari para pendukungnya.
Berbeda dengan Pangeran Diponegoro, justru Prabowo tampaknya yang memilih untuk berpisah dengan para pendukung militannya.
Para pendukung militan Prabowo kini dihadapkan pada pilihan sulit. Tidak ada pilihan lain mereka harus juga melepas Prabowo. Tanda-tanda bahwa Prabowo ditinggalkan para pendukungnya sudah bergema di medsos.
Bermacam meme bermunculan. Ada yang mengucapkan “Selamat Tinggal Jenderal.” Selamat berpisah Pak Prabowo,” “Adios Amigos,” ada yang yang membuat meme “Sayonara Prabowo.”
Seorang emak-emak bahkan membuat status meniru gaya milenial. “Pak Prabowo, you and me, end!”.
Dengan kemarahan semacam itu agak sulit bagi Prabowo untuk dikenang seperti Pangeran Diponegoro yang teguh dengan prinsip. Hanya bisa ditundukkan melalui tipu daya.
Sulit untuk berharap akan muncul pelukis seperti Raden Saleh yang membuat lukisan heroik menggambarkan penangkapan Pangeran Diponegoro.
Lukisan itu adalah perlawanan atas framing Belanda bahwa Pangeran Diponegoro digambarkan seolah menyerah kepada Belanda sebagaimana dibuat oleh pelukis Belanda Nicolas Pieneman (1835).
Baik pendukung paslon 01 dan paslon 02 tampaknya sampai pada satu kesimpulan yang sama. “ Sang Jenderal telah menyerah.”
Dia melupakan janjinya “saya akan timbul tenggelam bersama rakyat,” dan menukarnya dengan prinsip baru “timbul tenggelam bersama Jokowi.” end. (*)
Penulis: Hersubemo Arief