Melalui rekayasa peraturan dan perundang-undangan, mereka bisa leluasa mengatur dan menentukan. Siapa yang boleh maju dalam kontestasi, apa dan bagaimana bentuk lapangan permainannya, bagaimana aturan mainnya, siapa wasit, pengawas, bahkan siapa penontonnya. Dan yang lebih penting siapa yang akan dan harus menjadi pemenang.
Bagi penggemar sepak bola di Indonesia, permainan seperti ini tidak terlalu asing. Sebuah pengaturan skor yang dikenal sebagai Sepak Bola Gajah!
Tim mana yang akan keluar sebagai pemenang dan menjadi juara sudah ditentukan. Sementara tim yang dikalahkan juga tidak perlu khawatir. Mereka juga mendapat imbalan yang memadai. Semuanya baku atur.
Tinggal penonton yang tidak paham, ribut sendiri. Mereka merasa yakin timnya pasti menang. Secara kualitas pemain, kekompakan tim, dan support penonton jauh lebih unggul. Tapi mengapa kok bisa kalah?
Mereka cuma bisa bingung. Secara permainan, tim yang didukung lebih unggul, namun wasit sangat berpihak. Ketika protes ke pengawas pertandingan, tidak digubris. Diajukan ke badan arbitrase, tetap dikalahkan.
Para suporter tambah bingung. Offisial tim yang mereka dukung ternyata malah bergabung dengan tim lawan. Mereka menyampaikan ucapan selamat, bahkan ada yang diam-diam ikut merayakan kemenangan tim lawan.
Begitulah kira-kira situasi yang dihadapi oleh para emak-emak yang kini tengah merajuk dan marah. Mereka menggelar unjukrasa di rumah Prabowo.
Mereka adalah suporter yang tulus. Ikhlas berjuang dan sangat militan. Namun mereka bukanlah bagian dari permainan. Bukan bagian dari tim. Hanya penggembira di pinggir lapangan.
Dengan memahami anatomi oligarki maka tidak ada gunanya para pendukung marah-marah. Bawa perasaan.
Mari kita lupakan semuanya. Biarkan mereka baku atur, siapa mendapat apa.
Kita tinggal menunggu mereka berkelahi diantara mereka sendiri.
Psikologi kekuasaan, sama dengan kekayaan. Seperti air laut. Semakin banyak kita meminumnya, akan semakin haus. Begitulah dahaga atas kekuasaan, dan kekayaan. Tak pernah ada batasnya.
Jika ingin mengubah lapangan permainan, maka mata rantai oligarki itu harus diputus. Demokrasi memberi ruang bagi kekuatan rakyat untuk mengubahnya.
Syaratnya rakyat mengkomsolidasi diri, membuat wadah sendiri, mengusung agenda sendiri, dan memilih pemimpin sendiri. end. (*)
*Penulis: Hersubeno Arief