Dia senang memberi kejutan, membahagiakan kaum miskin dan papa. Mereka tak perlu tahu siapa yang memberi.
Sinterklas Indonesia, senang menampakkan diri.
Dia selalu membuka jendela mobil. Menebar senyum kepada warga yang mengelu-elukannya.
Pada tas sembako yang dibagikan juga tertera jelas logo dan tulisan, dari siapa sumbangan itu berasal.
Tampaknya sang Sinterklas ingin memastikan, warga tahu siapa yang membagi-bagikan hadiah.
Melihat dari ciri-cirinya, dapat dipastikan figur yang muncul bagi-bagi sembako di pinggir jalan itu bukanlah Sinterklas yang asli.
Dari mobil yang digunakan, pengawalan ketat, dan wajahnya yang terlihat sangat jelas, sosok itu dapat dipastikan adalah Jokowi.
Ya benar Presiden Republik Indonesia yang beberapa bulan lalu terpilih dan dilantik untuk periode kedua.
Sebutan perilaku Jokowi mirip Santo Claus itu berasal dari seorang netizen.
Dia mengunggah video rombongan Presiden Jokowi yang tengah membagi-bagikan sembako di Bogor, Ahad (26/4).
“Pak @jokowi, you were not elected to be a santa claus!,” cuit Joel Picard melalui akun @sociotalker.
“Pak Jokowi Anda tidak dipilih untuk menjadi seorang Santa Claus!,” cuitnya sambil memention akun resmi Presiden Jokowi.
Cuitan ini kemudian ditanggapi oleh mantan Menteri Perkonomian Rizal Ramli.
“Wong Presiden punya banyak kekuasaan untuk membuat rakyat hidup lebih baik. Lho ini kok mau niru Santa Claus? Sebegitu haus pengakuan kah,” cuit akun @RizalRamli dengan emoticon tersenyum lebar.
Sudah berulang kali
Bukan hanya kali ini saja Jokowi kedapatan bagi-bagi sembako, pengangan ringan, bahkan uang di pinggir jalan. Aksi semacam ini sudah menjadi merek dagang Jokowi.
Pada bulan Maret 2017 ketika berkunjung ke Kabupaten Madina, Sumatera Utara, Jokowi melempar-lemparkan makanan ringan dari dalam mobil.
Warga yang menyambutnya di pinggir jalan berebutan memungut.
Perilaku Jokowi itu mendapat kecaman luas dari nitizen dan pengamat. Politisi Gerindra Permadi menyebutnya sebagai penghinaan terhadap rakyat.
Kalau mau bagi-bagi hadiah, mbok ya turun kek dari mobil. Serahkan langsung. Salami. Ajak warga bercakap-cakap. Pasti nilainya jauh lebih berharga dibanding harga penganan yang dibagikan, sekalipun berasal dari seorang presiden.
Gaya Jokowi mengingatkan kita pada masa kerajaan, atau masa feodal zaman doeloe. Bukan seorang presiden yang terpilih melalui proses demokrasi.
Masih di tahun yang sama, pada bulan Januari saat berkunjung ke Pekalongan, Jawa Tengah, Jokowi juga melempar-lemparkan payung dari dalam mobil.
Saat berkunjung ke Maluku bulan Februari 2017, Jokowi juga melempar-lemparkan hadiah kepada warga yang menyambutnya.
Tak lama setelah terpilih menjadi Presiden, pada bulan Januari 2015, Jokowi bersama putranya Kaesang Pangarep bagi-bagi uang dan kaos ke sejumlah tukang becak di Solo.
Jokowi kembali bagi-bagi uang ke tukang becak ketika berkunjung ke Kota Yogyakarta pada bulan Maret 2015.
Bagi-bagi uang, jajanan, sembako, sepeda, atau apapun bentuknya —kendati sangat dikecam— bisa dipahami dalam konteks sebuah kampanye.
Saat itu Jokowi baru terpilih. Dia ingin terpilih kembali menjadi presiden.
Anda boleh tidak setuju! Begitulah caranya berkampanye, pencitraan, agar terkesan merakyat. Begitulah lah persepsi Jokowi tentang “merakyat.”
Toh terbukti dia “terpilih” kembali untuk periode kedua.
Masalahnya saat ini situasinya sangat berbeda. Jokowi (seharusnya) tidak sedang berkampanye. Bangsa kita, termasuk dunia, sedang menghadapi masalah besar.
Belum lagi cara Jokowi melakukan sangat-sangat tidak bijak. Saat ini di Jakarta dan Bogor sedang diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pergerakan dan kerumunan orang dalam jumlah besar sangat dibatasi. Warga diminta tetap di dalam rumah.
Gubernur DKI Anies Baswedan juga sudah mengingatkan. Jangan membagi-bagikan bantuan, sedekah di pinggir jalan.
Perilaku itu bisa mendorong warga berkerumun, dan berdesak-desakan di pinggir jalan. Risiko penularan Covid-19 sangat besar.