Hanya dalam waktu 13 hari jumlah harta dan kekayaan pribadi Kas dan Setara Kas Jokowi Widodo berdasarkan LHKPN bertambah Rp 13 milyar. Jelas hal itu merupakan skandal laporan keuangan.
Masih berkaitan dengan sumbangan dana kampanye, tim kuasa hukum Prabowo-Sandi juga menemukan kejanggalan lain.
Mengutip investigasi yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), mereka menduga ada dua perusahaan milik Wahyu Sakti Trenggono (Bendaraha TKN Jokowi-Ma’ruf) yang melebihi batas jumlah sumbangan sebesar Rp 2.5 milyar. Kedua perusahaan itu yakni PT Tower Bersama Infrastructure, TBK dan Teknolgi Riset Global Investama.
Di luar itu ada sumbangan dana kampaye fiktif. Ada kelompok penyumbang dengan nama berbeda, namun NPWP sama dengan nomor induk kependudukan (NIK) berbeda. Sumbangan fiktif itu jumlahnya cukup besar. Lebih dari 33 milyar.
Dengan bukti-bukti itu hampir dapat dipastikan pasangangan Jokowi-Ma’ruf melakukan pelanggaran hukum dan konsekuensinya bisa didiskualifikasi.
Kedua, majelis hakim memilih jalan aman dengan menolak materi perbaikan permohonan. Majelis menggunakan pendekatan procedural justice.
Dengan pendekatan ini hakim setuju dengan argumentasi KPU dan paslon 01, bahwa sesuai dengan PMK permohonan hanya boleh diajukan dalam rentang waktu tiga hari setelah penetapan hasil penghitungan suara.
Karena itu majelis hakim hanya akan memutuskan sengketa berdasarkan permohonan awal ( 24 Mei).
Hakim bisa menghindar dari tekanan publik yang menginginkan keadilan ditegakkan, sekaligus menyelamatkan posisi paslon 01. Skenario ini juga bisa menghindarkan kekacauan hukum yang akan terjadi bila majelis hakim memutuskan Ma’ruf Amin tidak bersalah.
Para pejabat, karyawan BUMN yang sudah diadili dan divonis bersalah, berhak untuk mengajukan rehabilitasi hukum. Kekacauan lain berkaitan kedudukan harta milik negara yang berada di BUMN dan anak-anak perusahaan BUMN.
Memutuskan menolak perbaikan permohonan jauh lebih aman bagi majelis hakim dan paslon 01, namun dampaknya sangat serius bagi masa depan penegakan hukum dan demokrasi Indonesia.
Sangat sulit berharap pemilu di Indonesia akan berlangsung bersih dan jujur, utamanya bila melibatkan seorang calon petahana, maupun calon yang berafiliasi dengan inkumben.
Persepsi publik bahwa hukum dan keadilan hanya akan bersikap tegas dan keras terhadap kelompok oposisi, tapi lemah, bahkan mandul terhadap penguasa akan semakin kuat.
Publik akan semakin skeptis terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga hukum, maupun proses demokrasi. Terjadi public distrust yang meluas dan akut.
Masa depan penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia bergantung kepada keberanian dan kebijakan 9 orang hakim MK.
Apakah mereka masih tetap berpegang teguh kepada adagium “sekalipun langit akan runtuh, keadilan tetap harus ditegakkan.” Atau bersedia melakukan kompromi-kompromi politik untuk melenggengkan kekuasaan?
Sekali lagi kita harus menggaris bawahi dengan tinta merah tebal apa yang dikatakan Ketua MK sekaligus ketua majelis hakim Anwar Usman,” bahwa sidang ini tidak hanya disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia, namun yang lebih utama juga disaksikan oleh Allah Subhanallohu Wata’alla. Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Mereka bisa menyembunyikan semuanya, termasuk kecurangan dari mata seluruh rakyat Indonesia. Namun tidak di mata Allah SWT. [end/hersubeno-arief.com]