Seperti disampaikan oleh anggota majelis Suhartoyo, hal itu menjadi kewenangan mahkamah majelis hakim. Mereka akan memusyawarahkannya. Sementara anggota majelis hakim lainnya Saldi Isra menyatakan mereka menerima perbaikan permohonan sebagai bentuk tranparansi sebagai pengadil.
Posisi majelis hakim ini memunculkan dua skenario jalannya persidangan di MK dan bagaimana keputusannya.
Pertama, apabila majelis hakim memutuskan untuk menerima dan menyidangkan materi permohonan perbaikan, konsekuensi hukumnya akan sangat serius bagi paslon 01. Paslon 01 akan didiskualifikasi. Sudah banyak yurisprudensinya.
Dalam hal ini majelis hakim MK menggunakan pendekatan substansial justice. Pendekatan hukum secara substansial ini lebih mendekati rasa keadilan masyarakat.
Sangat mudah untuk membuktikan bahwa posisi Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah di dua anak perusahaan BUMN melanggar peraturan pencalonan.
Ma’ruf Amin sulit berkelit bahwa sebagai pejabat pada anak perusahaan BUMN, maka dia bukan obyek hukum sebagaimana ketentuan dari UU Pemilu dan UU BUMN.
Secara hukum banyak keputusan hakim yang bisa menjadi yurisprudensi. Salah satunya adalah kasus yang menimpa Ibrahim Martabaya karyawan PTPN IV Sumatera Utara. Dia dihukum tiga bulan penjara dan denda Rp 5 juta subsidair 1 bulan kurungan karena mengkampanyekan Prabowo di facebook.
Ibrahim hanya karyawan biasa. PTPN IV adalah anak perusahaan dari PTPN III. Komposisi sahamnya 10 persen dimiliki negara, dan 90 persen dimiliki PTPN III.
Bandingkan dengan posisi Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah di BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri sebagai anak perusahaan BNI dan Bank Mandiri.
Di luar itu yang sangat telak, Mahkamah Agung (MA) juga sudah pernah memutuskan status anak perusahaan BUMN adalah BUMN. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017 “anak usaha BUMN tidak berubah menjadi Perseroan Terbatas biasa, namun tetap menjadi BUMN.”