Partai Gerindra sampai saat ini masih sangat mengandalkan ketokohan, dan belum menjelma menjadi partai kader. Untuk sukses, sebuah partai setidaknya harus mempunyai dua syarat : ketokohan, dan mesin partai. Satu lagi yang tak kalah pentingnya, yakni sumber dana yang kuat.
Nasib Gerindra akan sama, bahkan lebih buruk dari Partai Demokrat. Suaranya terus tergerus dari satu pemilu, ke pemilu lainnya.
Saat ini sudah ada wacana dari kalangan pendukung paslon 02 melakukan gugatan bila sampai Prabowo dan Gerindra bergabung dengan Jokowi.
Mereka menilai Prabowo berkhianat. Mandat suara yang diberikan malah digunakan untuk tawar menawar dan jabatan.
Skenario kedua, Prabowo dan Gerindra menolak bergabung dengan pemerintahan Jokowi.
Selain Gerindra dan PKS, besar kemungkinan PAN akan tetap ikut bertahan dalam barisan oposisi.
Faktor Amien Rais yang sangat kukuh pada pendirian, bisa menjadi tembok tebal yang membentengi sikap pragmatis sebagian politisi PAN. Hanya Demokrat yang dipastikan membelot dan melupakan komitmen awal koalisi.
Rakyat tetap bisa berharap partai oposisi menjalankan fungsinya melakukan kontrol atas pemerintah (check and balances).
Bila opsi ini yang dipilih Prabowo, maka kita masih memiliki sedikit harapan atas masa depan demokrasi Indonesia.
Rakyat masih percaya ada politisi yang teguh pada pendirian, sejalan antara ucapan dan tindakan. Tidak semua politisi bersikap pragmatis, oportunis, tidak loyal, berkhianat hanya untuk sekerat jabatan.
Prabowo akan dikenang sebagai figur politisi yang teguh pendirian. Satu kata antara ucapan dan perbuatan. Dia akan menjadi simbol perlawanan yang tetap menjaga tegaknya demokrasi.
Sebagai oposisi, Partai Gerindra akan menjadi partai yang kuat. Bukan tidak mungkin bisa menjadi pemenang pemilu. Saat ini saja posisinya berada di urutan kedua pemenang pemilu di bawah PDIP.
Semuanya terpulang kembali kepada Prabowo. Mau tetap timbul dan tenggelam bersama rakyat, atau timbul sendiri dan menunggu ditenggelamkan rakyat. end (*)