Muhammadiyah adalah ormas Islam terkaya di Indonesia. Mereka memiliki lembaga pendidikan sejak TK sampai perguruan tinggi. Tahun 2015 tercatat mereka memiliki 7.651 sekolah dan madrasah, dan 174 universitas, sekolah tinggi, institut, dan akademi.
Di bidang pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat terdapat rumah sakit 457, panti asuhan 318 buah, panti jompo 54 buah, dan rehabilitasi cacat 82 buah. Mereka juga memiliki sejumlah BMT, mini market dan koperasi.
Dana likuid yang tersimpan di rekening mereka tercatat sebesar Rp 15 triliun (2014). Jadi tudingan mereka mendapat gelontoran dana dari pemerintah China, alias sogokan agar bungkam, sangat merendahkan.
WSJ adalah jaringan media sangat tua dan berpengaruh di AS. Didirikan pada 8 Juli 1889 di New York. Usia WSJ bahkan lebih tua dibanding Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta 18 November 1912.
Pada masa jayanya, WSJ pernah menjadi koran terbesar di AS dengan oplah harian 2,6 juta eksemplar (2005). WSJ juga menerbitkan edisi Asia dan Eropa.
WSJ dikenal dengan tradisi jurnalistik yang sangat kuat. Pilihan editorialnya cukup konservatif dan prudent. Bukan tipikal media yang bombastis seperti saingan utamanya, USA Today.
Tudingan WSJ terhadap Muhammadiyah, NU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) muncul pada laman WSJ edisi Rabu (11/12).
Melalui artikel berjudul How China Persuaded One Muslim to Keep Silent on Xinjiang Camps, WSJ menyebut Muhammadiyah, NU, dan MUI mendapat gelontoran dana dari pemerintah Cina sehingga bungkam dan sikapnya berubah terhadap muslim Uighur.
Penulis artikel ini adalah Jonathan (Jon) Emont koresponden WSJ yang berbasis di Hongkong. Dia banyak menulis soal Uighur dan Rohingya.
Sebelum bergabung dengan WSJ, wartawan yang fasih berbahasa Indonesia ini pernah tinggal di Jakarta. Dia menjadi koresponden freelance untuk sejumlah media yang sangat prestisius New York Times, Washington Post dan Finacial Times.