Hasil sigi Median ini mirip dengan survei internal Prabowo-Sandi. Pada bulan Oktober selisihnya tinggal 11%. Dengan trend Jokma menurun, dan PS-SU naik, maka diperkirakan pada bulan Januari atau paling lambat Februari, posisinya sudah akan bertemu (crossing). Sungguh sangat berbahaya bagi inkumben.
Hal ini menjelaskan mengapa Jokowi mengerahkan berbagai cara untuk menahan laju penurunan dan kenaikan penantang. Selain melakukan langkah represif terhadap kelompok oposisi, pemerintah saat ini misalnya mengobral janji kenaikan tunjangan kinerja untuk TNI-Polri, termasuk tunjangan kenaikan yang sangat besar bagi Babinsa TNI.
Pemerintah juga mengumumkan kenaikkan tunjangan kinerja untuk sejumlah departemen. Terhitung mulai Januari 2019 gaji PNS dan pensiunan juga dinaikkan 5%. Masalahnya darimana pemerintah bisa membayar dan memenuhi janji manis itu mengingat APBD terus defisit?
Tunjangan kinerja yang dijanjikan kepada prajurit TNI-Polri akan cair pada bulan Juli, sampai sekarang belum ada realisasinya. Tunjangan untuk Kejaksaan dan lingkungan Mahkamah Agung sampai kini juga belum terbayar.
Dalam kunjungannya ke Pelembang Ahad (25/11) Jokowi secara terbuka mengakui elektabilitasnya di Sumsel tinggal 37%. Pada Pilpres 2014 di Sumsel Jokowi hanya kalah tipis sekitar 2.46%. Padahal saat itu Prabowo berpasangan dengan Hatta Radjasa putra asli Sumsel.
Pengakuan Jokowi ini juga membuka fakta adanya “penggelembungan” elektabilitas publikasi hasil survey oleh lembaga-lembaga yang dikontrak oleh inkumben. Publikasi survey bahwa elektabilitas Jokowi sudah di atas 50% dan selisihnya dengan Prabowo sampai 20% hanyalah upaya penggiringan opini publik.
Indikasi kuat adanya upaya pembentukan opini melalui publikasi survey sangat terlihat dari tindakan Denny JA pendiri Lingkaran Survey Indonesia (LSI).
Dalam satu bulan terakhir Denny sangat agresif membuat meme yang mendiskreditkan dan men-downgrade Prabowo-Sandi. Dia bahkan membuat meme untuk isu-isu yang sangat sepele dan remeh temeh. Tindakannya sudah melebihi buzzer inkumben yang paling militan. Bukan lagi seorang seorang pollster yang menjunjung tinggi metode statisktik yang ilmiah. Kendati di-bully habis di berbagai WAG, Denny seakan tidak peduli.
Kita masih harus terus mengamati secara cermat pergerakan elektabilitas kandidat. Masih ada waktu tersisa lima bulan. Biasanya seorang kandidat, apalagi inkumben bila trend-nya menurun, akan sulit untuk membuat pembalikan. Kecuali dia menemukan momentum.
Berbagai indikator, terutama yang berkaitan dengan ekonomi, saat ini tidak berpihak kepada Jokowi. Pertumbuhan ekonomi rendah, rupiah terus melemah, impor terus meningkat, defisit transaksi berjalan (CAD) terus melebar, dan defisit APBN terus membesar.
Jokowi sedang bekerja keras menyelesaikan proyek infrastruktur yang menjadi andalannya sebelum April 2019. Namun seperti diakui Wapres Jusuf Kalla, tidak semua proyek tersebut bisa selesai.
Diperlukan kerja keras yang luar biasa bagi Jokowi dan timnya, agar bisa kembali memenangkan pemilihan. Satu hal yang harus diingat, ada yang mengatakan, kekalahan itu memang tidak menyenangkan, dia seperti anak tiri. Sementara kemenangan, banyak bapak angkatnya. [rmol]
Penulis: Hersubeno Arief