Ceramah tersebut dilakukan di tempat tertutup. Dengan jamaah terbatas. Khusus umat Islam. Dan UAS menjawab pertanyaan jamaah. Ceramah itu juga tidak dipublikasikan melalui media, ataupun media sosial.
Satu hal lagi yang perlu dicatat, jawaban UAS kendati disampaikan secara jenaka, rujukannya sangat jelas Al Quran dan Al Hadits.
Sebagai penceramah, UAS mempunyai ciri khas mempersatukan. Dia tidak pernah mempertentangkan antara satu madzhab dengan madzhab yang lain.
Karena itu UAS bisa diterima umat Islam secara luas. Dengan latar belakang sebagai Nahdliyin-dia pernah menjadi pengurus NU di Riau-dia bisa diterima kalangan organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Al Wasliyah dan lain-lain.
Posisinya cukup jelas. Bukan Ustad tukang cari-cari masalah. Tukang provokasi, apalagi membuat gaduh.
Tugas seorang ustad-termasuk para pemuka agama lainnya-untuk menjaga iman dan aqidah para jamaahnya.
Soal ini seharusnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi dipertentangkan. Tinggal dikembalikan kepada kebijakan masing-masing. Kapan, dimana, kepada siapa disampaikan, serta bagaimana cara menyampaikannya.
Dengan pemahaman semacam itu, sangat dimengerti bila UAS menolak untuk minta maaf. Permintaan maaf karena tekanan dari kelompok, atau perorangan tertentu akan berdampak serius terhadap doktrin dan aqidah umat Islam.
Selain itu permintaan maaf UAS akan berdampak makin bersemangatnya para pengorek lubang tinja ini mencari-cari kesalahan para pemuka agama.
Tolong dicatat! Bukan hanya Islam, tapi juga pemuka-pemuka agama lainnya.
Bisa dibayangkan betapa sibuknya aparat Polri. Betapa gaduhnya bangsa ini, bila itu terjadi.
Cabut dan Dolak
Melihat kronologis dan setting peristiwanya, tidak berlebihan bila kita curiga ada kelompok-kelompok tertentu yang menggoreng isu ini.