Apapun yang disampaikan mereka tidak akan dipercaya publik. Situasi ini mengingatkan kita kepada pepatah lama “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak akan percaya.”
Masalahnya lembaga-lembaga survei ini —tentu tidak semua—khususnya LSI (lembaga survei istana) atau Surtana tidak hanya sekali lancung. Namun kedapatan berkali-kali lancung. Jadi bagaimana mungkin publik bisa percaya.
Kalau toh benar hasilnya seperti yang mereka umumkan —Jokowi menang dengan selisih 8 persen— kita patut bertanya. Bagaimana dengan hasil survei sebelumnya yang pernah mereka umumkan, Jokowi unggul dengan selisih angka di atas 25 persen?
Silahkan buka jejak digital mereka. Masih basah. Beberapa hari sebelum pencoblosan, semua lembaga survei istana memberi angka Jokowi 57 persen lebih. Sementara Prabowo hanya 30an persen.
Jarak elektabilitas kandidat yang mereka dukung di atas 20 persen ini bukan pertama kali. Pada Pilkada Serentak 2018 di Jabar dan Jateng mereka juga melakukan hal yang sama.
Para pollster bayaran ini pasti akan berkelit bahwa dinamika pemilih dengan berbagai variabelnya memungkinkan terjadinya perubahan elektabilitas. Terjadi migrasi. Angka yang belum menentukan sangat berpengaruh, dan segala macam argumentasi lainnya.