Native ads biasanya mainannya tim marketing. Tapi ada juga beberapa wartawan, bahkan petinggi media yang menjadi perantaranya.
Ada juga berita pesanan yang langsung ke wartawan dan redakturnya.
Namanya secara resmi belum ada. Di kalangan wartawan disebut dengan berita “jale.” Sebuah kata dari bahasa Minang yang berarti “jelas,” ada 86-nya.
Berita model begini banyak tersebar di media massa mainstream. Sebelumnya yang banyak digunakan model advertorial, atau ada juga yang menyebutnya pariwara.
Berbeda dengan native ads, advertorial relatif lebih jujur. Dikemas persis seperti berita, namun di bagian atas atau di bawah berita ditulis keterangan advertorial, atau cukup dengan kode adv.
Salah satu contoh berita advetorial yang cukup menarik perhatian adalah saat Setya Novanto —ketika masih menjadi ketua DPR— menunaikan salat dhuha di ruang tunggu bandara Halim.
Berita yang dimuat di Jawa Pos News Network (JPNN) itu dikemas sangat menarik. Mengangkat sisi kesalehan personal Novanto. Dalam kondisi sangat sibuk pun tetap menuaikan salat sunah.
Pesan dari berita itu kira-kira, kalau salat sunah saja ditunaikan, bagaimana dengan salat fardunya.
Namun ketika dicermati ternyata berita itu berkode adv. alias advertorial. Jadi itu konten berbayar. Bukan berita yang dibuat oleh wartawan Jawa Pos.
Silakan buka link aslinya :https://www.jpnn.com/news/sebelum-terbang-setya-novanto-salat-duha-di-bandara-halim
Memelintir dan menggoreng berita
Tidak semua berita yang bersifat native ads masuk kategori hoax kelas berat seperti berita Jokowi menerima ucapan selamat.
Ada juga yang sering disebut sebagai berita yang diplintir dan digoreng, atau diplintir sekaligus digoreng. Kalau perlu sampai gosong. Modusnya bermacam-macam. Namun dampaknya tetap saja sama.