Di dua wilayah ini Jokowi dinyatakan menang telak. Di beberapa TPS Prabowo sama sekali tidak mendapat suara. Ada ribuan TPS yang menghilang, dan puluhan ribu nama pemilih ganda.
Jumlah pemilih membengkak tinggi dibanding Pilkada 2018. Pembengkakan itu jumlah nyaris sama dengan kenaikan suara Jokowi dibanding Pilpres 2014. Angkanya juga hampir sama dengan jumlah DPT invalid yang dilaporkan BPN.
BPN sebelumnya telah melaporkan adanya 17.5 juta DPT invalid. Mereka menyebutnya DPT tuyul.
Djoko Santoso mantan Panglima TNI ini menutup pidato pendeknya dengan sebuah bait dari kidung Sekar Kinanthi karya pujangga besar R Ngabehi Ranggawarsita “Sura dira jayadiningrat. Lebur dening pangastuti. Yang curang akan hancur,” tegasnya.
Keputusan Prabowo dan pendukungnya ini sungguh dramatis, namun sudah bisa diprediksi.
Sebelumnya saksi BPN di KPUD Jawa Barat menolak menandatangani hasil penghitungan suara manual. Padahal Prabowo-Sandi dinyatakan menang.
BPN tampaknya sudah sampai pada satu kesimpulan, apapun hasilnya, mereka akan dikalahkan. Tapi mereka tidak kalah. “Kita sudah memenangkan mandat dari rakyat!,” seru Prabowo.
Sudah sejak awal sangat terlihat, apapun caranya, berapapun biayanya: Jokowi harus tetap menjadi presiden! Termasuk bila harus mengorbankan demokrasi itu sendiri.
Kecurangan sudah terlihat mulai dari perumusan UU Pemilu yang memutuskan presidential threshold 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional. Sebelum pelaksanaan berupa pengerahan aparat intelijen, polisi, ASN, dan penggunaan anggaran pemerintah, peggelembungan DPT dll.
Kecurangan secara sangat kasar terjadi pada saat pelaksanaan berupa pencoblosan surat suara paslon 01, dan ada 6.7 juta undangan yang tidak sampai ke pemilih dan berbagai modus curang lainnya.
Kecurangan berlanjut sampai pada penghitungan suara dan tabulasi pada Situng KPU.
Karena itu tak ada lagi gunanya proses pilpres diteruskan. Kalau toh harus bersengketa di Mahkamah Konstitusi, hasilnya sudah bisa diduga seperti apa. Jokowi akan dimenangkan.
Jalan buntu
Keputusan Prabowo menolak hasil pilpres menghadapkan bangsa Indonesia pada jalan buntu.
Kalau Jokowi tetap dipaksakan menjadi presiden terpilih, statusnya adalah presiden yang cacat secara hukum. Dia menang karena curang.
Masalah besar yang akan dihadapi Jokowi adalah problem legitimasi dan representasi.
Secara legitimasi dia sangat lemah. Kemenangannya tidak diakui, tidak hanya oleh Prabowo, namun juga lebih dari separuh bangsa Indonesia. Setidaknya kalau kita berpegang pada klaim tim IT BPN bahwa Prabowo menang dengan perolehan suara 54,24 persen.
Dari sisi representasi Jokowi hanya menang besar di Jawa Tengah, Jawa Timur –di luar Madura—Bali, NTT dan beberapa provinsi dengan mayoritas berpenduduk non muslim.
Jokowi kalah di hampir seluruh Sumatera, Banten, DKI, Jabar, Sulsel, Kalsel dll.