Mereka tahu persis, bahkan sampai hitungan detilnya. Jika terjadi ledakan jumlah penderita, fasilitas rumah sakit tidak akan mampu menampung. Sementara jumlah tenaga medis yang ada, juga tidak akan mampu menanganinya.
Korban akan berjatuhan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih mengenaskan lagi banyak tenaga medis yang ikut menjadi korban. Puluhan orang sudah tertular, sejumlah dokter dan perawat meninggal dunia.
Semua itu disebabkan keterbatasan APD. Sangat ironis pasukan tempur terdepan, aset utama pemerintah menghadapi perang melawan Corona, dibiarkan tewas tidak terlindungi.
Jelas ini menyebabkan terjadinya demoralisasi. Pasukan melawan. Daripada mati konyol!
Hanya karena pengabdian yang tinggi, sikap profesional, dan terikat sumpah untuk menyelamatkan kemanusiaan, mereka tetap berjibaku. Termasuk mengorbankan nyawanya.
Para tenaga medis tampaknya sudah sampai pada puncak kekesalannya. Enough is enough. Sudah cukup. Tidak bisa ditoleransi lagi.
Sebelumnya para tenaga medis masih mencoba tidak bersikap frontal. Melakukan persuasi, memberi signal-signal. Mulai dari pesan tersirat maupun tersurat. Namun pemerintah pusat bergeming.
Saking kesalnya Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Prof Zubairi Djoerban sampai berkata, “ Kalau tidak mau lockdown, setidaknya jangan bikin kebijakan ngawur lah,” ujar dokter senior spesialis penyakit dalam itu.