Pertama, tanpa oposisi pemerintahan Jokowi akan kehilangan partner sekaligus lawan yang diperlukan di luar pemerintahan. Oposisi bisa membantunya melakukan kontrol terhadap kinerja aparat pemerintah, dan para pembantunya.
Seperti seorang petinju, untuk mejadi juara, dia membutuhkan seorang partner latih tanding (sparing partner). Bahkan bila tidak ada lawan latih tanding, seorang petinju perlu terus berlatih melawan bayangan (shadow boxing).
Hanya dengan cara seperti itu, seorang petinju bisa kuat, tekniknya meningkat dan menjadi juara.
Kedua, oposisi penting untuk menjaga agar Jokowi tidak tergelincir dari seorang demokrat menjadi otoriter.
Jangan sampai Jokowi -“tokoh populis yang hanya bisa tampil ke tampuk elite kekuasaan karena proses demokrasi”- kemudian malah membunuh demokrasi.
Periode kedua ini harus benar-benar dimanfaatkan Jokowi untuk meninggalkan warisan (legacy) sebagai seorang kepala negara. Ingin seperti apa dia akan dikenang.
Ketiga, oposisi sangat diperlukan oleh pemerintahan Jokowi sebagai kanal resmi perlawanan rakyat menyalurkan aspirasinya.
Bila aspirasi mereka tersumbat karena tak ada kelompok oposisi di parlemen yang menyuarakannya, perlawanan rakyat bisa berubah menjadi aksi jalanan.
Rakyat tak lagi percaya kepada para politisi, lembaga-lembaga resmi pemerintah, dan pranata-pranata lainnya.
Terjadi pembangkangan massal (people disobedience). Di media sosial sudah muncul wacana menolak membayar pajak, menarik dana dari bank-bank pemerintah dan milik konglomerat dan berbagai aksi vandalisme lainnya.
Bila itu terjadi, yang rugi juga pemerintah sendiri. Akan terjadi instabilitas. Situasi politik akan terus bergolak, dan pemerintahan biasanya menggunakan tangan besi untuk meredamnya. Jelas hal itu tidak baik bagi citra pemerintah.
Untuk menjaga kewarasan nalar dan akal sehat bangsa, tidak perlu lah pemerintahan Jokowi menggoda, memecah belah oposisi. Toh posisi partai pendukung pemerintah sudah cukup kuat.
Total kursi di parlemen lebih dari 60 persen. Sudah lebih dari cukup untuk memuluskan setiap kebijakan pemerintah. Tinggal menjaga soliditas.
Bila oposisi, apalagi Gerindra sebagai pemilik kursi kedua terbanyak di parlemen bergabung, maka jatah kursi partai pendukung di kabinet akan berkurang. Mereka harus rela berbagi. Jelas hal itu akan menimbulkan ketidakpuasan dan mengganggu soliditas.
Bagi oposisi khususnya Gerindra, jika akhirnya memutuskan bergabung dengan pemerintah, dalam jangka panjang akan merugikan.
Keputusan itu akan menjadi bunuh diri politik, bagi Prabowo dan bagi Gerindra. Modal sosial dan politik puluhan tahun dibangun Prabowo hancur hanya dalam sekejap. Digantikan dengan sumber daya ekonomi di pemerintahan yang tidak seberapa.
Perjuangan puluhan tahun menegakkan reputasi dan kredibilitas Prabowo akan hancur hanya karena kenikmatan sesaat yang sesat. (*)