Jonan akhirnya terpaksa menarik pernyataannya. Namun media sudah mencatat, bahwa baik pengumuman, maupun penundaan, dua-duanya “atas arahan Bapak Presiden.” Sebagai bawahan Jonan tidak salah. Dia hanya menjalankan arahan presiden. Yang salah bila dia tidak menjalankan arahan Presiden.
Seorang mantan menteri di kabinet Jokowi hanya bisa bisa geleng-geleng kepala. “Aku speechlees mas.” Kehabisan kata-kata.
Hanya contoh kecil
Inkonsistensi alias sering berubah-ubahnya keputusan pemerintah, bukan hanya pada kasus kenaikan harga BBM. Banyak contoh lain. Tinggal kuat-kuatan mengumpulkan data. Dalam peribahasa Jawa disebut “esuk dele, sore tempe.”
Pagi hari masih berupa kedelai, tapi sore harinya sudah menjadi tempe.” Tidak konsisten, antara ucapan dan perbuatan. Hanya dalam hitungan jam, sudah berubah sikap. Dalam bahasa sekarang disebut tukang bikin hoax.
Pada penanganan gempa di Palu, Sigi, dan Donggala, Presiden Jokowi mempersilakan bantuan asing masuk.
“Bapak Presiden telah menyampaikan kepada Ibu Menteri Luar Negeri untuk membuka bantuan dari negara lain, dalam mengatasi gempa di Donggala dan Palu sesuai kebutuhan,” kata Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi di Jakarta, Senin (1/10). Koordinasinya akan dilakukan oleh Menko Polhukam.
Tak lama kemudian media sempat memberitakan Wapres Jusuf Kalla menolak bantuan asing. Namun pernyataan ini kemudian diluruskan, bahwa yang ditolak adalah bantuan pasukan, termasuk kapal rumah sakit militer. Sementara untuk bantuan rehabilitasi dalam jangka panjang tetap diterima.
Bagaimana faktanya di lapangan?
Situs berita Jerman Deutsche Welle melaporkan para relawan asing diusir. Termasuk sejumlah relawan terlatih dari Jeman. “Semua anggota tim harus kembali ke negaranya masing-masing. Mereka tidak dibutuhkan di Indonesia,” kisah Ahmed Bham seorang relawan dari Afrika Selatan. Bayangkan. Jauh-jauh datang dari Afsel untuk membantu, malah “diusir.”
Masih soal penanganan bencana di Sulteng, Menko polkam Wiranto kalang kabut ketika instruksinya mempersilakan warga mengambil barang di sejumlah mini market, berbuntut penjarahan. Dia kemudian malah menyalahkan media yang memlintir ucapannya.
Di Lombok warga korban bencana marah dan kesal karena bantuan yang dijanjikan tak kunjung cair. Secara simbolis Presiden Jokowi menyerahkan bantuan masing-masing sebesar Rp 50 juta untuk warga yang rumahnya rusak berat. Danaya jelas sudah tertera di dalam rekening bank BRI, namun tetap tak dapat dicairkan. Rekening bedong. Ajaib.
Belakangan ada surat edaran dari Kemensos semacam ‘pengakuan dosa.” Anggaran Kemensos sedang cekak, jangan umbar janji bantuan.” Nah siapa yang umbar janji. Siapa yang berbohong?
Daftar kekonyolan tersebut semakin panjang, bila kita telusuri selama empat tahun lebih Presiden Jokowi berkuasa. Hanya enam bulan setelah berkuasa, Jokowi menandatangani Perpres bantuan uang muka untuk pembelian mobil pejabat. Setelah muncul kritikan pedas, Jokowi membatalkannya. Dia berkilah tidak mungkin membaca satu persatu dokumen yang ditanda tanganinya.
Harian berbahasa Inggris milik keluarga James Riady, Jakarta Globe kemudian membuat sebuah judul : “I Don’t Read, What I Sign.” Idiom ini kemudian menjadi trending topic di twitter. Sikap Jokowi yang terkesan menyalahkan bawahannya mendapat komentar dari Tommy Soeharto. “Pemimpin yang menyalahkan bawahan ketika sedang terdesak adalah pemimpin yang “tidak bertanggung jawab”, cuit Tommy.
Publik pasti belum lupa dengan kasus Archandra Tahar. Menteri ESDM tersebut hanya menduduki posisinya selama 20 hari.
Dia dilantik 27 Juli 2016 menggantikan Sudirman Said pada reshuffle Kabinet Jilid II. Tanggal 15 Agustus 2016 diberhentikan. Archandra diketahui menjadi pemegang paspor AS.
Bagaimana mungkin pemegang paspor negara lain—berarti dia warga asing, atau setidaknya berkewarga negara ganda—diangkat menjadi menteri? Jelas merupakan pelanggaran konstitusi.
Apa tidak ada pengecekan, clearance dari BIN, dan Deplu? Bukankah Presiden bisa memerintahkan Deplu untuk melakukan pengecekan ke Kedutaan Besar RI di AS, atau Konsulat Jenderal RI di Houston tempat Archandra tinggal?
Namun show must go on. Setelah dua bulan mencari celah, pada 14 Oktober Archandra Kembali ke kabinet. Posisinya turun menjadi Wakil Menteri.
Banyaknya kekacauan pengambilan keputusan/kebijakan dalam pemerintahan Jokowi memunculkan banyak pertanyaan soal kapasitasnya. Dalam militer dikenal sebuah pameo “Tidak ada prajurit yang salah. Yang salah adalah komandannya.”
Bagaimana jika komandannya terlalu “banyak”? Fenomena ini sering digambarkan dalam sebuah frasa “too many chief, not enough Indians.” Frasa yang terkesan rasis ini menggambarkan situasi kerja yang terlalu banyak bos, tapi sedikit pekerja.
Bila dalam sebuah negara, banyak yang merasa menjadi bos, keputusan satu dengan lainnya bertentangan. Rakyat menjadi bingung. Saran terbaik, seperti pengumuman pramugari “ Kembali ke tempat duduk masing-masing. Kencangkan sabuk pengaman.” Pesawat akan mengalami turbulensi, goncangan, naik dan turun.
Masalahnya “penerbangannya” akan menempuh waktu selama lima tahun.
Masih kuat? [hersubenoarief.com]
Penulis: Hersubeno Arief